Bikers

Rabu, 24 Oktober 2007

Chow Kit: Membangun Malaysia Yang Bertamaddun

·   0

Masih Ada Nicky Astria di Chow Kit

Dari negeri jiran, kabar tak sedap ini datang semakin kencang dan bertubi. Setelah kisruh ihwal perbatasan dan sama-sama menyiagakan kapal perang, rebutan warisan budaya, kini masalah buruh migran memanaskan tensi politik dua negara yang masih serumpun ini. Mengapa pasukan sukarelawan negeri itu agresif memburu perantau dari Indonesia?


SUARA khas Cak Kartolo terdengar lamat-lamat dari balik sebuah toko elektronik di kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur, Malaysia. Belasan orang berkerumun mendengarkan lawakan sang seniman ludruk itu sambil sesekali tertawa cekikikan. Mereka bubar begitu dagelan Su roboyoan itu diganti nyanyian lady rocker Nicky Astria.


Seniman ludruk asal Surabaya ini memang tak lagi pentas di negeri jiran itu. Nicky, penyanyi bersuara melengking asal Bandung, juga tak bakalan mudik kemari. Tapi kaset, CD, dan video cakram mereka ada di sini. Selain album Jarum Neraka Nicky, ada pula koleksi Ebiet G. Ade, si goyang ngebor Inul Daratista, hingga kendang gandrung Banyuwangi.


Chow Kit? Di areal seluas sekitar 50 hektare ini, aneka suku asal Indon—begitu orang Malaysia menyebut—tumpah ruah. Semua hal yang berbau Indonesia komplet tersaji, sebagaimana terlihat pada Rabu malam pekan lalu itu. Komunitas orang Indonesia di Kuala Lumpur juga ada di Bukit Bintang Selatan, Kampung Pandan, dan daerah Kajang. ”Tapi Chow Kit adalah ibu kota Indonesia di Malaysia,” seloroh Mahmud, orang Aceh yang menjadi buruh bangunan.


Chow Kit adalah urat nadi perekonomian para perantau yang tak pernah lelap. Para migran asal Indonesia ba nyak yang mengais rezeki di sini. Ada yang membuka restoran, toko kelontong, menjadi pedagang kaki lima dan penjual jamu. Banyak warung bende rang hingga subuh. Restoran Tar, milik orang Jawa Timur, yang berada persis di bawah stasiun monorel di Jalan Tuanku Abdul Rahman, malah buka 24 jam.


Restoran berlantai tiga ini disesaki pengunjung yang menyantap bakso, soto ayam, dan nasi gudeg. Hampir semua nya bertegur sapa dalam bahasa Jawa. Di lantai dua dipajang sebuah televisi 29 inci. Sejumlah anak muda terlihat asyik menonton sinetron yang ditayangkan sebuah stasiun televisi di Jakarta. Di dua sisi trotoar Jalan Tuanku Abdul Rahman, berbaris pedagang kaki lima menjual pakaian juga aneka cendera hati—atawa cendera mata. Mereka umumnya berasal dari Padang, Sumatera Barat, dan Belawan, Sumatera Utara.


Pasar tradisional Chow Kit juga dipe nuhi pedagang sayur-mayur dari Me dan . Di sana ada Restoran Sunan Drajat mi lik orang Surabaya. Menu andalannya sate kambing. Restoran yang berdiri sejak 1980 itu laris manis. Menurut Suhar yanto, pelayan restoran itu, dalam sehari dua kuintal daging tandas terjual.


Daging yang ludes akan berlipat dua pada Sabtu dan Minggu. Sebab, banyak pekerja Indonesia yang berakhir pekan di sini. Mereka datang dari luar kota, termasuk dari Selangor, yang jauhnya lima jam perjalanan. Di belakang deret an toko itu, di sebuah gang yang sempit, berjejeran kedai jamu yang dikelola warga asal Jawa Tengah.


Sejarah ”penguasaan” kawasan itu bermula dari Kampung Baru, sebuah kampung kecil yang berimpitan de ngan Chow Kit. Kampung itu sudah lama dihuni orang Bugis, Minang, dan Jawa, jauh sebelum Malaysia, yang dijajah Inggris, memproklamasikan kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957.


Simak kisah Sudarman. Menurut tokoh masyarakat Indonesia yang sudah 37 tahun menetap di Chow Kit ini, warga Indonesia mulai ramai menghuni kawasan ini sejak Malaysia menetapkan kebijakan ekonomi baru pada 1971. Mereka dipermudah masuk untuk meng isi lowongan kerja.


Kedatangan perantau serumpun itu juga turut mendongkrak komposisi orang Melayu di Kuala Lumpur. Pe tinggi Malaysia saat itu, kata Sudarman, cemas akan pengaruh Partai Komunis Malaya pimpinan Ching Peng. Sebab itulah, perantau Indonesia disuruh bergegas mengurus surat agar menjadi penduduk tetap. ”Saat itu kami bahu-membahu melawan pengaruh komunis,” ujar pria 65 tahun ini.


Tak punya paspor? Bukan masalah. Polisi Diraja Malaysia siap membantu mengurusnya. Karena prosesnya mudah, jumlah warga Indonesia terus menjulang. Saat ini diperkirakan ada sekitar 30 ribu orang Indonesia yang mendiami Chow Kit.


Lain dulu, lain pula sekarang. Dulu, Chow Kit menjadi simbol persatuan, tapi kini menjelma menjadi titik terdidih dalam hubungan diplomatik kedua negara. Hampir setiap hari, situasinya berubah mencemaskan. Pasukan Sukarelawan Malaysia (Rela) memburu orang Indonesia di kawasan ini. Mereka berdalih mencari para pendatang haram.


Masalahnya, operasi menggaruk imigran gelap itu tak selalu berjalan lancar. Kerap kisruh dan diwarnai aksi baku pukul. Jika sepanjang pekan lalu daerah ini terlihat tenteram, ”Itu karena anak-anak Rela sedang mudik,” kata Ridwan, buruh asal Sumatera, yang sudah 14 tahun menetap di Chow Kit.


Rela adalah sebuah organisasi sipil yang bernaung di bawah kementerian dalam negeri Malaysia. Didirikan pada 1972, organisasi ini semula bertugas menyokong kerja polisi. Sejak Maret 2005, mereka diberi tugas resmi untuk ”me ngatasi” para pekerja ilegal.


Namun di lapangan faktanya lain. Mereka tak cuma menggaruk pekerja ilegal, tapi juga pekerja yang memiliki visa kerja, mahasiswa, bahkan keluarga diplomat Indonesia. Pada awal Oktober lalu, Muslianah Nurdin, istri Imran Hanafi, Deputi Bidang Pendidikan Kedutaan Besar Indonesia, digaruk Rela di kawasan Chow Kit. Padahal Muslianah sudah menunjukkan kartu keluarga diplomat yang diterbitkan kementerian luar negeri Malaysia.


Tapi si Rela menuduh kartu itu palsu. Bersama sejumlah orang Indonesia yang digaruk, istri diplomat itu disuruh jongkok. ”Saya tidak percaya mereka tidak kenal kartu identitas itu, yang ditulis dalam bahasa Malaysia,” kata Imran.


Main garuk gaya Rela itu kian marak di Malaysia sejak pertengahan tahun ini. Lebih dari dua ribu tenaga kerja Indonesia, disingkat TKI, diciduk. Ada yang dilepas, banyak pula yang disimpan di penjara imigrasi. Ada pula yang dirogol atau diperkosa hingga hamil (lihat Menanti Lahirnya Mahathir).


Sejumlah kasus itu membuat Jakarta berang. Departemen Luar Negeri Indonesia mengirim surat protes ke peme rintah Malaysia, pertengahan Oktober lalu. Sejumlah anggota DPR RI mendesak pemerintah agar menekan Malaysia supaya membubarkan Rela. ”Ini sudah berulang-ulang. Jika tidak didengar, putuskan saja hubungan diplomatik de ngan Malaysia,” kata Mahfudz Sidik, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.


Tapi tampaknya Kuala Lumpur tak berubah pikiran. Rela masih amat diandalkan memburu para pekerja ilegal. ”Tuntutan pembubaran itu tidak realistislah. Kami dibutuhkan karena ba nyak pekerja ilegal,” kata Dato Zaidon Asmuni, ketua pengarah alias panglima Rela, kepada Tempo.


Negeri di Semenanjung Malaka ini memang sedang kelimpungan dengan para pekerja asing. Jumlahnya membludak. Dalam data resmi yang diumumkan imigrasi Malaysia, hingga September tahun ini, jumlah pekerja asing melambung di bilangan 2,1 juta. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Kuala Lumpur memperkirakan total tenaga kerja asing itu sekitar 3 juta orang.


Dari jumlah itu, lebih dari separuhnya, sekitar 1,9 juta, berasal dari Indonesia. Sebagian besar bekerja sebagai tenaga kasar di sektor perkebunan, jasa, dan pembantu rumah tangga.


Majikan Malaysia senang dengan pembantu dari Indonesia karena bahasanya hampir sama. Upahnya juga jauh lebih murah. Sebulan mereka dibayar sekitar 400 ringgit atau sekitar Rp 1 juta. Gaji pembantu lokal dua kali lipat.


Repotnya, banyak tenaga kerja yang berbekal visa bodong alias tanpa visa kerja. Mastur, seorang tokoh masyarakat Indonesia di Kuala Lumpur, memperkirakan bahwa di kawasan Chow Kit saja, ada sekitar 9.000 orang yang tidak memiliki izin kerja.


Jumlah itu termasuk mereka yang visa kerjanya habis alias over stay. Mereka bertahan karena banyak majikan yang nekat memberi pekerjaan lantaran, ya itu tadi, upah mereka lebih murah. Jadi, menurut Mastur, ”Ini persekongkolan saling menguntungkan.”


Pekerja Indonesia yang tidak memiliki visa kerja itu bertaburan di sejumlah daerah. Di Sabah, misalnya, tenaga kerja ilegal diperkirakan sekitar 146 ribu orang. Umumnya mereka bekerja di kebun kelapa sawit.


Sepanjang dua pekan terakhir, masalah pekerja asing ini jadi isu besar di Malaysia. Sejumlah media di Kuala Lumpur, sepanjang pekan lalu, menurunkan berita utama tentang membanjirnya tenaga kerja dari seberang itu.


Coba simak data berikut. Menurut Setia Usaha Agung Kongres Sekerja Malaysia (MTUC), semacam serikat pekerja di sini, setiap harinya ada sekitar 1.600 pekerja asing masuk Malaysia. Arti nya, dalam sebulan sekitar 48 ribu tenaga kerja asing tumpah ke negeri itu. Fakta ini mencemaskan serikat pekerja Malaysia. Mereka mendesak pemerintah memperketat persyaratan masuknya pekerja asing. ”Jangan nanti pekerja kita menjadi peminta sedekah di negeri sendiri,” kata G. Rajasekaran, ketua MTUC.


Kecemasan Rajasekaran beralasan. Hampir semua sektor informal di Malaysia dikuasai pekerja asing. Di Ibu Kota Kuala Lumpur, misalnya, para pedagang kaki lima dan kedai makan dikuasai orang Indonesia, India, dan Tionghoa. Itulah sebabnya sejumlah pekerja Indonesia di Malaysia menuding, aksi main tangkap Rela juga disebabkan oleh kecemburuan sosial ekonomi.


Cara kerja Rela yang grasah-grusuh juga banyak dikeluhkan. Ada anggota nya yang dikritik bermasalah. ”Ba nyak anggota Rela yang sebelumnya me nganggur dan menjadi preman,” kata Amiruddin, bukan nama sebenarnya, seorang pedagang di Bukit Bintang. Bekas preman itu dikenal galak-galak.


Ada juga tudingan lain, yaitu pe merasan. Beberapa orang TKI yang pernah ditangkap Rela mengaku, saat ditangkap, telepon seluler dan uang mereka dicomot petugas. Kerap kali pula anggota Rela melakukan tawar-menawar di tempat jika yang diciduk ingin bebas. ”Sekitar 100 ringgit habislah,” kata seorang TKI yang pernah digaruk Rela, kepada Tempo.


Anggota Rela memang tidak digaji secara khusus. Upah mereka sangat bergantung pada jam operasi. Satu jam operasi dibayar 4 ringgit atau sekitar Rp 10.700. Tapi yang menggiurkan bonusnya. Untuk setiap pendatang ilegal yang ditangkap, akan dihargai Rp 200 ribu oleh pemerintah. ”Bonus itulah yang membuat anggota Rela tergiur menja ring orang sebanyak-banyaknya,” kata Amiruddin.


Dato Zaidon Asmuni, Ketua Pengarah Rela, membantah jika anak buah nya melakukan pemerasan saat operasi. Isu soal uang bonus juga dia tepis. ”Anggota kami hanya digaji per jam operasi, bonus itu tidak benarlah,” katanya. Tapi seorang komandan peleton Rela, sebut saja namanya Rozak, yang diwawancarai Tempo pada Rabu pekan lalu, membenarkan soal adanya bonus itu.


Hanya, sang komandan, yang memiliki anak buah 50 orang dan berbasis di pusat kota Kuala Lumpur, membantah bahwa penangkapan massal dilakukan lantaran tergiur bonus. ”Dari 30 orang yang ditangkap, paling dua-tiga orang yang haramlah,” kata Rozak, yang masuk Rela sejak 1984.


Rozak mengeluhkan banyak tenaga kerja ilegal yang cuma pusing-pu sing saja. Pusing-pusing itu maksudnya cuma keliling-keliling alias luntang-lantung. Mereka itu kerap kali melakukan je nayah alias tindak kejahatan. ”Bahkan ada budak Rela yang tangannya dipatahkan budak Indonesia,” kata Rozak.


Aksi pasukan Rela ini dikritik keras sejumlah anggota parlemen Malaysia. Wan Azizah Wan Ismail, dari Partai Keadilan, mendesak pemerintah memangkas peran Rela. Menurut Azizah, sebaik nya mereka cuma mendampingi polisi dan pejabat imigrasi dalam memeriksa pendatang. ”Mereka tidak boleh berope rasi sendiri sesuka hati, karena akan merusak citra Malaysia,” kata istri mantan Timbalan Perdana Menteri Anwar Ibrahim ini.


Teresa Kok, anggota parlemen lain nya , malah mendesak agar pasukan ini di tinjau ulang. ”Kalau pejabat imigrasi Ma laysia bersih dan ketat menerima pen datang, Rela itu tak diperlukan,” katanya.


Namun Wan Azizah hakulyakin, pemerintah Malaysia tak bakal membubarkan organisasi itu. ”Karena mere ka sudah jadi perkakas politik partai yang berkuasa,” kata Azizah, yang partainya beroposisi dengan pemerintah. Azizah dan Teresa mendesak pemerintah dua negara duduk semeja membahas masalah ini.


Janganlah kemudian dibalut basa-basi: hubungan kedua negara serumpun ini baik-baik saja. Padahal fakta nya kerap terjadi kisruh di lapangan. ”Itu namanya yang di atas merekat seperti (kartu) wajik, tapi kami yang di bawah keriting terus,” kata Mastur, salah seorang tokoh perantau Indonesia di Kuala Lumpur.

Subscribe to this Blog via Email :