Minggu, 21 September 2025

Fenomena Baru Suriah: Orang Kaya Minta Merdeka dari Orang Miskin

·   0

Fenomena baru tengah mencuat di Suriah. Di tengah fase rekonstruksi dan kembalinya jutaan pengungsi ke rumah mereka, muncul gerakan separatis dari kelompok yang justru selama puluhan tahun menikmati privilese di bawah rezim Bashar Al Assad dan ayahnya, Hafez Al Assad. Mereka adalah komunitas Druze, Alawite, Kristennhingga sebagian elemen SDF Kurdi, yang kini menyuarakan tuntutan untuk lepas dari pemerintahan baru di Damaskus.

Video terbaru dari provinsi Sweida, Suriah selatan, menampilkan ratusan warga turun ke jalan menuntut hak penentuan nasib sendiri. Demonstrasi yang ramai itu menyoroti keinginan mereka untuk membangun pemerintahan sendiri atau mendirikan negara sendiri. Fenomena ini dianggap janggal, karena mayoritas rakyat Suriah yang sebelumnya dipersekusi justru kini berusaha membangun kembali negeri mereka secara kolektif. Pemerintahan Suriah yang baru dan pegawainya justru tahun lalu adalah pengungsi.

Dalam video berdurasi beberapa menit itu, seorang peserta aksi mengatakan dengan tegas bahwa mereka menginginkan kemandirian penuh. “Kami ingin memutuskan hubungan dengan Damaskus,” ujarnya. Kalimat tersebut menggema di tengah massa yang membawa poster dan meneriakkan slogan-slogan pemisahan dari pemerintahan pusat.

Pasukan Garda Nasional yang dibentuk lokal oleh separatis milisi Al Hajri pro Israel di Sweida juga disorot. Mereka disebut sebagai kekuatan yang bertugas menjaga keamanan wilayah, melindungi perbatasan pegunungan, dan mengonsolidasikan berbagai faksi di bawah satu komando. Namun peran mereka dipandang ambigu, karena sejatinya para separatis itu adalah mantan oejabat rejim Bashar al Assad, para kriminal narkoba dll yang selama puluhan tahun mempersekusi mayoritas warga Suriah yang sekarang justru sedang sibuk membangun kembali rumah mereka yang hancur.

Bagi banyak pengamat, fenomena ini merupakan ironi sejarah. Selama lima dekade, kelompok minoritas seperti Druze dan Alawite berada di posisi elite dalam pemerintahan Assad dan income perkapita mereka jauh puluhan kali dari rata-rata warga Suriah. Mereka menikmati kekuasaan, jabatan, hingga perlindungan politik, sementara 70 persen rakyat Suriah yang mayoritas Sunni hidup dalam tekanan dan kemiskinan di pengungsian. Kini, ketika pemerintahan baru Suriah lahir dari rahim para pengungsi yang dulu dianiaya, justru kelompok elite lama itu yang merasa harus diistimewakan dan ingin merdeka.

Sweida sebagai basis Druze kini menjadi simbol perlawanan unik. Sebelumnya, provinsi ini relatif aman dari konflik besar selama perang Suriah, karena dianggap sebagai wilayah yang dekat dengan rezim. Namun situasi politik berbalik arah setelah Assad lengser, membuat komunitas Druze menuntut hak-hak khusus yang mereka anggap sebagai “jaminan identitas”.

Hal yang sama juga terlihat di kalangan Alawite, basis tradisional keluarga Assad. Setelah kehilangan pijakan politik, sebagian elitnya mengekspresikan keinginan untuk membentuk otonomi sendiri di wilayah pesisir. Narasi yang mereka bangun adalah perlindungan terhadap “identitas Alawite”, padahal kelompok ini sebelumnya menjadi tulang punggung represi terhadap mayoritas rakyat Suriah.

Fenomena separatis ini juga menyentuh sebagian unsur SDF Kurdi. Walaupun Kurdi Suriah sudah lama memperjuangkan otonomi, posisi mereka menjadi rumit ketika tuntutan serupa datang dari komunitas yang dulu menjadi bagian dari elite rezim. Dari perspektif politik, tuntutan Kurdi lebih mudah dipahami, sementara dari sisi Druze dan Alawite terlihat sebagai upaya mempertahankan status istimewa.

Kemarahan publik semakin terlihat jelas saat kalangan Druze membawa bendera Israel seakan meledek warga Suriah yang tewas dibom Israel dan upayanya untuk memperkuat proyek neokolonialisme Greater Israel di kawasan.

Di mata rakyat biasa, fenomena ini terasa aneh. Selama bertahun-tahun, orang-orang miskin dan mayoritas Sunni ditekan, dipersekusi, bahkan dipaksa mengungsi. Kini, setelah mereka kembali perlahan ke rumah, membangun kota, dan berusaha menghidupkan kembali perekonomian, justru kelompok yang dulu diuntungkan menggaungkan separatisme dan berteriak terzolimi.

Ironi tersebut membuat wacana ini disebut sebagai fenomena “orang kaya minta merdeka dari orang miskin”. Kaum elite yang dulu mengendalikan kekuasaan kini menganggap hidup di bawah pemerintahan rakyat biasa sebagai penurunan status.

Beberapa pengamat menilai gerakan di Sweida masih bersifat simbolis dan emosional, tetapi bisa berkembang menjadi krisis baru jika tidak ditangani dengan bijak. Tuntutan penentuan nasib sendiri bisa memicu ketegangan antar-komunitas di wilayah yang sudah lama retak karena konflik sektarian. Alih-alih kelompok Druze, Alawite dan pendukung rejim Assad minta maaf dan rekonsiliasi, malah mengompori kekesalan warga dengan mengelu-elukan teror Israel ke Suriah.

Bagi pemerintahan baru Suriah, fenomena ini menjadi ujian nyata. Di satu sisi, mereka perlu menjaga persatuan dan stabilitas. Di sisi lain, mereka tidak bisa mengabaikan aspirasi kelompok minoritas yang khawatir kehilangan identitas dan privilese lama.

Demonstrasi di Sweida juga menggambarkan dilema sejarah Suriah. Apakah negeri ini akan bersatu kembali di bawah pemerintahan baru yang lahir dari penderitaan rakyat mayoritas, atau justru pecah menjadi entitas kecil berdasarkan identitas sektarian?

Keterlibatan milisi separatis Garda Nasional lokal menunjukkan bahwa gerakan ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan sudah masuk ke ranah militer. Hal ini menambah kompleksitas, karena berarti ada struktur pertahanan lokal yang siap menjaga kepentingan separatis.

Meski begitu, sejumlah analis optimis bahwa gerakan ini tidak akan mudah berkembang luas. Realitas ekonomi dan sosial membuat sebagian besar warga tetap bergantung pada pusat, terutama dalam distribusi bantuan, rekonstruksi, dan layanan publik.

Namun, pesan utama yang muncul dari fenomena ini adalah bahwa luka lama Suriah belum sembuh. Elite lama yang kehilangan kekuasaan masih mencari cara untuk mempertahankan status, meski dengan narasi kemandirian.

Fenomena ini sekaligus membuka mata publik internasional bahwa konflik Suriah tidak hanya soal oposisi versus rezim, tetapi juga tentang transformasi sosial ketika mayoritas rakyat yang dulu dipinggirkan kini mengambil alih panggung.

Gerakan massa di Sweida akan menjadi penentu arah ke depan. Apakah ini hanya gelombang sesaat, atau awal dari babak baru separatisme elit di Suriah?

Yang jelas, sejarah mencatat bahwa mereka yang dulu berada di atas, kini merasakan getirnya berada di bawah. Dan dari situlah lahir fenomena aneh: elite lama yang meminta merdeka dari rakyat yang pernah mereka tindas.

Subscribe to this Blog via Email :