Di balik gejolak geopolitik Kaukasus, terdapat kisah yang terlupakan tentang satu wilayah bernama Red Kurdistan atau Kurdistan Uezd. Dibentuk pada 7 Juli 1923 oleh pemerintah Republik Sosialis Soviet Azerbaijan, wilayah administratif ini berpusat di Lachin dan mencakup distrik Kalbajar, Qubadli, dan sebagian Jabrayil. Pendirian wilayah ini adalah bagian dari strategi Soviet untuk mengakomodasi komunitas Kurdi yang mayoritas bermazhab Syiah, berbeda dari saudara mereka di wilayah Nakhichevan atau Timur Tengah yang umumnya Sunni.
Penduduk Kurdistan Uezd pada sensus tahun 1926 mencapai lebih dari 51 ribu jiwa, dengan 72 persen di antaranya adalah etnis Kurdi. Meski demikian, menariknya, lebih dari 90 persen penduduk mengaku menggunakan bahasa Turkik (yang kemudian dikenal sebagai bahasa Azerbaijan) sebagai bahasa ibu, mencerminkan proses asimilasi yang sudah mulai berjalan sejak awal.
Eksistensi Red Kurdistan tak berlangsung lama. Pada 8 April 1929, wilayah ini dibubarkan bersama dengan semua uezd lainnya sebagai bagian dari restrukturisasi administratif Soviet. Namun, hanya setahun kemudian, pada 30 Mei 1930, pemerintah Soviet mendirikan kembali wilayah ini dengan nama Kurdistan Okrug dalam upaya menarik simpati Kurdi di Iran dan Turki, serta memanfaatkan semangat nasionalisme Kurdi yang sedang tumbuh di kawasan tersebut.
Sayangnya, langkah itu mendapat tentangan keras dari Kementerian Luar Negeri Soviet sendiri, yang khawatir dengan dampak diplomatik terhadap hubungan dengan Turki dan Iran. Akibatnya, Kurdistan Okrug dibubarkan hanya dua bulan kemudian, pada 23 Juli 1930. Keputusan ini menandai awal dari kebijakan represif terhadap Kurdi di wilayah Kaukasus Soviet.
Setelah pembubaran resmi, masyarakat Kurdi di Azerbaijan dan Armenia menghadapi tekanan budaya dan politik. Asimilasi terhadap budaya dominan Azeri menjadi hal umum, terutama melalui pernikahan campuran yang sering kali membuat generasi baru kehilangan bahasa Kurdi sebagai bahasa warisan.
Penindasan terhadap etnis Kurdi mencapai puncaknya pada akhir 1930-an saat terjadi deportasi massal oleh otoritas Soviet. Ribuan Kurdi dari Azerbaijan dan Armenia dikirim ke wilayah-wilayah terpencil seperti Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgizstan, dan Uzbekistan. Mereka menjadi korban pembersihan etnis Stalin, yang menganggap kelompok etnis minoritas sebagai potensi ancaman bagi kestabilan negara.
Dalam gelombang deportasi besar-besaran pada 1944, komunitas Kurdi di Georgia juga mengalami nasib serupa. Mereka dijadikan target dalam rangkaian kebijakan paranoid Stalin yang dikenal sebagai Great Purge. Eksodus ini membuat banyak Kurdi kehilangan akar sosial dan budaya mereka selama beberapa generasi.
Kini, jejak Red Kurdistan nyaris terlupakan. Wilayah yang pernah menjadi simbol eksistensi Kurdi di Kaukasus kini telah menjadi bagian dari dinamika konflik etnis dan teritorial antara Armenia dan Azerbaijan, khususnya di kawasan Lachin yang juga menjadi titik krusial dalam konflik Nagorno-Karabakh.
Komunitas Kurdi yang tersisa di Armenia dan Azerbaijan hidup dalam bayang-bayang sejarah yang kompleks. Di Armenia, sebagian besar Kurdi adalah penganut kepercayaan Yazidi yang relatif lebih dilindungi. Mereka masih mempertahankan bahasa dan budaya sendiri serta memiliki sedikit representasi dalam kehidupan publik.
Di Azerbaijan, keberadaan Kurdi lebih tersembunyi. Akibat tekanan sejarah dan kebijakan asimilasi, banyak Kurdi di sana sudah mengidentifikasi diri sebagai Azeri secara linguistik dan budaya. Bahkan, penggunaan bahasa Kurdi di ruang publik nyaris punah.
Soal representasi politik, posisi Kurdi di kedua negara tidak sekuat di kawasan lain seperti Irak. Di Armenia, Yazidi Kurdi memiliki kursi minoritas dalam parlemen, namun mereka lebih diakui sebagai kelompok etnis dan agama, bukan sebagai bagian dari agenda politik Kurdi secara luas.
Sementara di Azerbaijan, tidak ada perwakilan resmi dari komunitas Kurdi dalam struktur politik atau parlemen nasional. Ini berbeda jauh dengan negara-negara lain yang memiliki komunitas Kurdi besar seperti Irak atau Suriah, di mana perwakilan Kurdi memainkan peran signifikan.
Meski tidak lagi memiliki wilayah administratif sendiri, seperti Red Kurdistan di masa lalu, identitas Kurdi di Kaukasus tetap bertahan dalam bentuk komunitas-komunitas kecil yang tersebar. Namun, ancaman kehilangan bahasa dan budaya masih menghantui mereka dari generasi ke generasi.
Red Kurdistan kini menjadi simbol dari eksperimen politik Soviet yang gagal. Ia pernah menjadi cerminan harapan bagi minoritas Kurdi untuk mendapat pengakuan administratif, namun akhirnya dibungkam oleh realitas geopolitik yang lebih besar.
Di tengah kebangkitan identitas Kurdi di beberapa bagian Timur Tengah, warisan Red Kurdistan tetap menjadi pengingat akan sejarah yang pahit, namun penting untuk dipelajari. Ia menandai bagaimana etnis minoritas bisa dengan cepat menjadi pion dalam permainan kekuasaan imperium.
Meski secara administratif telah hilang dari peta sejak 1930, Red Kurdistan tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Kurdi yang tersebar di Armenia, Azerbaijan, dan bahkan Kazakhstan, tempat generasi keturunan mereka kini membangun kehidupan baru.
Kisah Red Kurdistan adalah cerita tentang harapan, pengkhianatan, dan peluruhan identitas. Ia juga menjadi cermin dari kebijakan imperial yang mempermainkan nasib sebuah bangsa demi kepentingan strategi jangka pendek.
Gerakan Kebebasan Kurdistan Kaukasus mengadakan pertemuan di Lachin dan mendeklarasikan berdirinya Republik Kurdistan Lachin pada 20 Mei 1992, sambil mengibarkan bendera Kurdistan di kota tersebut. Suasana upacara deklarasi ini dibandingkan dengan perayaan pernikahan. Sekitar 70 intelektual dan pemuda Kurdi hadir, bersama beberapa pengamat dari Armenia; sekitar 20 di antara pemuda tersebut bersenjata. Mereka tiba di Lachin menggunakan bus yang disediakan oleh pemerintah kota Yerevan. Dalam upacara deklarasi itu, Mistefayêv diumumkan sebagai perdana menteri, dan ia mengumumkan beberapa anggota kabinetnya: Sheref e Eshir sebagai wakil perdana menteri; Karlan e Chachani sebagai Menteri Kebudayaan, dan Emerike Serdar sebagai Menteri Informasi. Distrik Lachin, Jabrayil, Kalbajar, Qubadli, dan Zangilan seluruhnya berada di bawah administrasi republik ini.
Namun, pada akhir bulan, Mistefayêv telah memprediksi keruntuhan republik tersebut dan mengatakan kepada Özgür Gündem bahwa Armenia tidak mengirimkan bantuan atau senjata apa pun kepada mereka, dan bahwa rencana untuk mendatangkan orang Kurdi dari bagian lain bekas Uni Soviet telah gagal. Meskipun demikian, kongres pertama republik ini tetap dilangsungkan pada 9 Juni, dan menghasilkan pemilihan Mistefayêv sebagai presiden.
Sikap Armenia terhadap aksi para nasionalis Kurdi pada awalnya cukup mendukung. Deklarasi republik ini, menurut pandangan otoritas Armenia, bisa dimanfaatkan sebagai alat tawar terhadap Azerbaijan dengan menunjukkan bahwa Kurdi dan Armenia berdiri bersama dalam menghadapi Azerbaijan. Selain itu, diasumsikan bahwa Republik Kurdistan Lachin secara efektif akan berada di bawah kedaulatan tidak langsung (suzerainty) Armenia dan keberadaannya tidak akan mengganggu koridor Lachin yang menghubungkan Armenia dengan wilayah inti Nagorno-Karabakh.
Pemerintah Rusia juga memberikan dukungan kepada republik baru ini; pada Juni 1992, Mistefayêv melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Dalam sebuah wawancara dengan Rudaw pada tahun 2014, Mistefayêv mengklaim bahwa setelah pertemuannya dengan pihak Rusia, Azerbaijan berusaha menyuapnya agar ia membubarkan republik tersebut, namun ia menolak.
Yang membuat Azerbaijan sangat kesal, Armenia terus mendukung Republik Kurdistan Lachin sepanjang tahun 1992. Media Azerbaijan secara rutin mengecam apa yang mereka lihat sebagai upaya bersama Kurdi-Armenia untuk mengacaukan stabilitas Azerbaijan. Wakil presiden organisasi Gerakan Pembebasan Kurdi, Alikhane Mame, mengatakan bahwa nasib bangsa Kurdi bergantung pada kemenangan Armenia dalam perang, dan pernyataannya ini disiarkan ulang di media Armenia, yang semakin memancing kemarahan Azerbaijan. Kurdistan Kaukasus mengadakan pertemuan di Lachin dan mendeklarasikan berdirinya Republik Kurdistan Lachin pada 20 Mei 1992, sambil mengibarkan bendera Kurdistan di kota tersebut. Suasana upacara deklarasi ini dibandingkan dengan perayaan pernikahan. Sekitar 70 intelektual dan pemuda Kurdi hadir, bersama beberapa pengamat dari Armenia; sekitar 20 di antara pemuda tersebut bersenjata. Mereka tiba di Lachin menggunakan bus yang disediakan oleh pemerintah kota Yerevan. Dalam upacara deklarasi itu, Mistefayêv diumumkan sebagai perdana menteri, dan ia mengumumkan beberapa anggota kabinetnya: Sheref e Eshir sebagai wakil perdana menteri; Karlan e Chachani sebagai Menteri Kebudayaan, dan Emerike Serdar sebagai Menteri Informasi. Distrik Lachin, Jabrayil, Kalbajar, Qubadli, dan Zangilan seluruhnya berada di bawah administrasi republik ini.
Namun, pada akhir bulan, Mistefayêv telah memprediksi keruntuhan republik tersebut dan mengatakan kepada Özgür Gündem bahwa Armenia tidak mengirimkan bantuan atau senjata apa pun kepada mereka, dan bahwa rencana untuk mendatangkan orang Kurdi dari bagian lain bekas Uni Soviet telah gagal. Meskipun demikian, kongres pertama republik ini tetap dilangsungkan pada 9 Juni, dan menghasilkan pemilihan Mistefayêv sebagai presiden.
Sikap Armenia terhadap aksi para nasionalis Kurdi pada awalnya cukup mendukung. Deklarasi republik ini, menurut pandangan otoritas Armenia, bisa dimanfaatkan sebagai alat tawar terhadap Azerbaijan dengan menunjukkan bahwa Kurdi dan Armenia berdiri bersama dalam menghadapi Azerbaijan. Selain itu, diasumsikan bahwa Republik Kurdistan Lachin secara efektif akan berada di bawah kedaulatan tidak langsung (suzerainty) Armenia dan keberadaannya tidak akan mengganggu koridor Lachin yang menghubungkan Armenia dengan wilayah inti Nagorno-Karabakh.
Pemerintah Rusia juga memberikan dukungan kepada republik baru ini; pada Juni 1992, Mistefayêv melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Dalam sebuah wawancara dengan Rudaw pada tahun 2014, Mistefayêv mengklaim bahwa setelah pertemuannya dengan pihak Rusia, Azerbaijan berusaha menyuapnya agar ia membubarkan republik tersebut, namun ia menolak.
Yang membuat Azerbaijan sangat kesal, Armenia terus mendukung Republik Kurdistan Lachin sepanjang tahun 1992. Media Azerbaijan secara rutin mengecam apa yang mereka lihat sebagai upaya bersama Kurdi-Armenia untuk mengacaukan stabilitas Azerbaijan. Wakil presiden organisasi Gerakan Pembebasan Kurdi, Alikhane Mame, mengatakan bahwa nasib bangsa Kurdi bergantung pada kemenangan Armenia dalam perang, dan pernyataannya ini disiarkan ulang di media Armenia, yang semakin memancing kemarahan Azerbaijan.
Selain dari meningkatnya permusuhan dari pihak Armenia, masalah utama lainnya bagi Republik Kurdistan Lachin adalah kenyataan bahwa mayoritas besar penduduk Kurdi di wilayah tersebut telah melarikan diri akibat perang. Semakin lama semakin jelas bahwa mempertahankan eksistensi republik ini tidak lagi memungkinkan, dan akhirnya republik tersebut runtuh, menandai berakhirnya nasionalisme Kurdi di kawasan tersebut secara definitif. Setelahnya, Republik Nagorno-Karabakh (Artsakh) mengambil alih kendali penuh atas Lachin dan wilayah-wilayah yang sebelumnya diklaim oleh Kurdi. Sisa-sisa komunitas Kurdi di wilayah itu pun meninggalkan daerah tersebut dan pindah ke Azerbaijan.
Pada 2023, Repubkik Artsakh akhirnya juga dibubarkan oleh Azerbaijan.