Hubungan antara Kesultanan Aceh Darussalam dengan Tanah Karo tercatat dalam sejarah sebagai salah satu bentuk interaksi politik dan budaya yang unik di Sumatera pada abad ke-17. Sultan Iskandar Muda, penguasa besar Aceh yang berkuasa antara tahun 1607 hingga 1636, memainkan peran penting dalam menata struktur pemerintahan tradisional di Tanah Karo. Salah satu langkahnya adalah mengakui dan meresmikan lima kerajaan adat yang kemudian dikenal sebagai Sibayak.
Keputusan Sultan Iskandar Muda ini tidak lahir tanpa sebab. Tanah Karo kala itu diwarnai oleh perselisihan antarkelompok atau urung, yaitu wilayah-wilayah adat yang sering kali bersaing satu sama lain. Untuk meredam konflik dan menciptakan stabilitas, Sultan Aceh menata ulang kekuasaan lokal dengan mengangkat lima raja adat yang diakui resmi, salah satunya adalah Sibayak Suka.
Sibayak Suka dipimpin oleh seorang raja bermerga Ginting Suka (Kudadiri) dan berkedudukan di Desa Suka. Di bawahnya, terdapat empat urung yang masing-masing memiliki pusat pemerintahan, yakni Urung Suka di Suka, Urung Sukapiring di Seberaya, Urung Ajinembah di Ajinembah, dan Urung Tongging di Tongging. Struktur ini mencerminkan model pemerintahan yang lebih terorganisir dibandingkan sebelumnya.
Langkah Sultan Iskandar Muda dalam meresmikan Sibayak-Sibayak bukan hanya strategi politik, tetapi juga cara untuk memperluas pengaruh Aceh di pedalaman Sumatera. Dengan mengakui pemimpin lokal, Sultan menciptakan sistem aliansi yang membuat Aceh memiliki mitra politik dan dagang di wilayah yang sebelumnya berada di luar jangkauan langsung.
Sibayak Suka, sebagai bagian dari struktur ini, memiliki peran strategis. Wilayahnya yang berada di dataran tinggi Karo menjadi penghubung antara pesisir timur Sumatera yang dikuasai Aceh dengan pedalaman yang kaya sumber daya. Dengan demikian, hubungan Sultan Iskandar Muda dengan Sibayak Suka tidak hanya berdimensi politik, tetapi juga ekonomi.
Bagi masyarakat Karo, pengakuan dari Sultan Iskandar Muda memperkuat legitimasi raja-raja adat. Hal ini menjadikan posisi Sibayak Suka semakin kokoh dalam struktur sosial. Hubungan ini juga membuka jalan bagi interaksi budaya, termasuk kemungkinan masuknya pengaruh Islam ke kawasan Karo meskipun masyarakat tetap mempertahankan adat dan kepercayaan tradisionalnya.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai pemimpin visioner yang memahami pentingnya stabilitas internal. Dengan menata urusan di Tanah Karo, ia sebenarnya sedang membangun perimbangan kekuasaan agar wilayah pedalaman tidak mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Aceh, seperti Portugis maupun Johor.
Kebijakan tersebut sejalan dengan strategi besar Aceh di masa itu. Kesultanan Aceh tidak hanya berperang di laut melawan kekuatan Eropa, tetapi juga berupaya mengendalikan jalur dagang di daratan. Keberadaan Sibayak Suka dan empat Sibayak lainnya menjadi benteng alami sekaligus mitra politik.
Relasi Aceh dan Tanah Karo melalui Sibayak Suka juga menegaskan bahwa Sultan Iskandar Muda tidak semata-mata menaklukkan wilayah, melainkan lebih mengedepankan model integrasi berbasis pengakuan adat. Pola ini membuat hubungan Aceh dengan daerah pedalaman Sumatera berlangsung relatif damai.
Dalam perspektif sejarah lokal, Sibayak Suka tetap dikenang sebagai salah satu dari lima kerajaan adat utama di Karo. Posisi ini lahir berkat kebijakan Sultan Iskandar Muda, yang menempatkannya sejajar dengan Sibayak Lingga, Sibayak Sarinembah, Sibayak Barusjahe, dan Sibayak Kutabuluh.
Meskipun hubungan Aceh dengan Sibayak Suka tidak selalu dicatat dalam naskah tertulis, ingatan kolektif masyarakat Karo menyimpan cerita tentang campur tangan Sultan Aceh dalam mengatur kehidupan politik mereka. Hal ini memperlihatkan adanya persinggungan antara kekuatan besar di pesisir dengan otoritas lokal di pedalaman.
Keberadaan urung-urung di bawah Sibayak Suka juga memperlihatkan bagaimana konsep pemerintahan Aceh berpadu dengan struktur adat Karo. Para Raja Urung dan Pengulu tetap memegang kekuasaan lokal, tetapi berada dalam satu kerangka yang lebih besar di bawah Sibayak.
Dari sisi budaya, hubungan ini juga membuka ruang pertukaran. Meskipun masyarakat Karo tidak sepenuhnya masuk dalam lingkup budaya Islam Aceh, interaksi yang terjadi membawa dampak pada perdagangan, bahasa, dan diplomasi.
Sibayak Suka sendiri menjadi simbol kompromi antara adat Karo dengan kepentingan politik Aceh. Ia menunjukkan bahwa integrasi wilayah bisa tercapai tanpa menghapus identitas lokal.
Kebijakan Sultan Iskandar Muda di Tanah Karo juga mencerminkan strategi politik Aceh yang inklusif. Dengan mengakui Sibayak, ia berhasil menanamkan pengaruh tanpa perlu menempatkan pasukan besar di pedalaman. Hal ini menghemat sumber daya sekaligus memperkuat hubungan diplomatis.
Bagi Kesultanan Aceh, hubungan dengan Sibayak Suka memberi keuntungan strategis. Selain memperkuat kontrol atas jalur perdagangan darat, Aceh juga mendapatkan dukungan moral dari masyarakat pedalaman yang mengakui wibawa Sultan.
Sementara itu, bagi Sibayak Suka, hubungan dengan Aceh memberi legitimasi dan perlindungan. Dalam konteks politik lokal, hal ini membuatnya lebih disegani oleh kerajaan adat lainnya di Karo.
Dengan demikian, hubungan Sultan Iskandar Muda dengan Sibayak Suka bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah contoh bagaimana diplomasi tradisional membentuk tatanan politik di Sumatera. Ia memperlihatkan simbiosis antara kekuasaan pesisir dan otoritas pedalaman.
Hingga kini, jejak hubungan tersebut masih dikenang dalam tradisi lisan masyarakat Karo. Cerita tentang peran Sultan Iskandar Muda dalam meresmikan lima Sibayak, termasuk Sibayak Suka, menjadi bagian penting dari identitas sejarah Karo dan Sumatera secara keseluruhan.
Melalui kebijakan tersebut, Sultan Iskandar Muda tidak hanya dikenang sebagai penguasa besar Aceh, tetapi juga sebagai sosok yang turut membentuk peta politik dan adat di Tanah Karo. Hubungan itu kini menjadi warisan sejarah yang memperlihatkan betapa luas dan dalamnya pengaruh Aceh di masa jayanya.