Featured Articles
All Stories

Minggu, 21 September 2025

Fenomena Baru Suriah: Orang Kaya Minta Merdeka dari Orang Miskin

Fenomena baru tengah mencuat di Suriah. Di tengah fase rekonstruksi dan kembalinya jutaan pengungsi ke rumah mereka, muncul gerakan separatis dari kelompok yang justru selama puluhan tahun menikmati privilese di bawah rezim Bashar Al Assad dan ayahnya, Hafez Al Assad. Mereka adalah komunitas Druze, Alawite, Kristennhingga sebagian elemen SDF Kurdi, yang kini menyuarakan tuntutan untuk lepas dari pemerintahan baru di Damaskus.

Video terbaru dari provinsi Sweida, Suriah selatan, menampilkan ratusan warga turun ke jalan menuntut hak penentuan nasib sendiri. Demonstrasi yang ramai itu menyoroti keinginan mereka untuk membangun pemerintahan sendiri atau mendirikan negara sendiri. Fenomena ini dianggap janggal, karena mayoritas rakyat Suriah yang sebelumnya dipersekusi justru kini berusaha membangun kembali negeri mereka secara kolektif. Pemerintahan Suriah yang baru dan pegawainya justru tahun lalu adalah pengungsi.

Dalam video berdurasi beberapa menit itu, seorang peserta aksi mengatakan dengan tegas bahwa mereka menginginkan kemandirian penuh. “Kami ingin memutuskan hubungan dengan Damaskus,” ujarnya. Kalimat tersebut menggema di tengah massa yang membawa poster dan meneriakkan slogan-slogan pemisahan dari pemerintahan pusat.

Pasukan Garda Nasional yang dibentuk lokal oleh separatis milisi Al Hajri pro Israel di Sweida juga disorot. Mereka disebut sebagai kekuatan yang bertugas menjaga keamanan wilayah, melindungi perbatasan pegunungan, dan mengonsolidasikan berbagai faksi di bawah satu komando. Namun peran mereka dipandang ambigu, karena sejatinya para separatis itu adalah mantan oejabat rejim Bashar al Assad, para kriminal narkoba dll yang selama puluhan tahun mempersekusi mayoritas warga Suriah yang sekarang justru sedang sibuk membangun kembali rumah mereka yang hancur.

Bagi banyak pengamat, fenomena ini merupakan ironi sejarah. Selama lima dekade, kelompok minoritas seperti Druze dan Alawite berada di posisi elite dalam pemerintahan Assad dan income perkapita mereka jauh puluhan kali dari rata-rata warga Suriah. Mereka menikmati kekuasaan, jabatan, hingga perlindungan politik, sementara 70 persen rakyat Suriah yang mayoritas Sunni hidup dalam tekanan dan kemiskinan di pengungsian. Kini, ketika pemerintahan baru Suriah lahir dari rahim para pengungsi yang dulu dianiaya, justru kelompok elite lama itu yang merasa harus diistimewakan dan ingin merdeka.

Sweida sebagai basis Druze kini menjadi simbol perlawanan unik. Sebelumnya, provinsi ini relatif aman dari konflik besar selama perang Suriah, karena dianggap sebagai wilayah yang dekat dengan rezim. Namun situasi politik berbalik arah setelah Assad lengser, membuat komunitas Druze menuntut hak-hak khusus yang mereka anggap sebagai “jaminan identitas”.

Hal yang sama juga terlihat di kalangan Alawite, basis tradisional keluarga Assad. Setelah kehilangan pijakan politik, sebagian elitnya mengekspresikan keinginan untuk membentuk otonomi sendiri di wilayah pesisir. Narasi yang mereka bangun adalah perlindungan terhadap “identitas Alawite”, padahal kelompok ini sebelumnya menjadi tulang punggung represi terhadap mayoritas rakyat Suriah.

Fenomena separatis ini juga menyentuh sebagian unsur SDF Kurdi. Walaupun Kurdi Suriah sudah lama memperjuangkan otonomi, posisi mereka menjadi rumit ketika tuntutan serupa datang dari komunitas yang dulu menjadi bagian dari elite rezim. Dari perspektif politik, tuntutan Kurdi lebih mudah dipahami, sementara dari sisi Druze dan Alawite terlihat sebagai upaya mempertahankan status istimewa.

Kemarahan publik semakin terlihat jelas saat kalangan Druze membawa bendera Israel seakan meledek warga Suriah yang tewas dibom Israel dan upayanya untuk memperkuat proyek neokolonialisme Greater Israel di kawasan.

Di mata rakyat biasa, fenomena ini terasa aneh. Selama bertahun-tahun, orang-orang miskin dan mayoritas Sunni ditekan, dipersekusi, bahkan dipaksa mengungsi. Kini, setelah mereka kembali perlahan ke rumah, membangun kota, dan berusaha menghidupkan kembali perekonomian, justru kelompok yang dulu diuntungkan menggaungkan separatisme dan berteriak terzolimi.

Ironi tersebut membuat wacana ini disebut sebagai fenomena “orang kaya minta merdeka dari orang miskin”. Kaum elite yang dulu mengendalikan kekuasaan kini menganggap hidup di bawah pemerintahan rakyat biasa sebagai penurunan status.

Beberapa pengamat menilai gerakan di Sweida masih bersifat simbolis dan emosional, tetapi bisa berkembang menjadi krisis baru jika tidak ditangani dengan bijak. Tuntutan penentuan nasib sendiri bisa memicu ketegangan antar-komunitas di wilayah yang sudah lama retak karena konflik sektarian. Alih-alih kelompok Druze, Alawite dan pendukung rejim Assad minta maaf dan rekonsiliasi, malah mengompori kekesalan warga dengan mengelu-elukan teror Israel ke Suriah.

Bagi pemerintahan baru Suriah, fenomena ini menjadi ujian nyata. Di satu sisi, mereka perlu menjaga persatuan dan stabilitas. Di sisi lain, mereka tidak bisa mengabaikan aspirasi kelompok minoritas yang khawatir kehilangan identitas dan privilese lama.

Demonstrasi di Sweida juga menggambarkan dilema sejarah Suriah. Apakah negeri ini akan bersatu kembali di bawah pemerintahan baru yang lahir dari penderitaan rakyat mayoritas, atau justru pecah menjadi entitas kecil berdasarkan identitas sektarian?

Keterlibatan milisi separatis Garda Nasional lokal menunjukkan bahwa gerakan ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan sudah masuk ke ranah militer. Hal ini menambah kompleksitas, karena berarti ada struktur pertahanan lokal yang siap menjaga kepentingan separatis.

Meski begitu, sejumlah analis optimis bahwa gerakan ini tidak akan mudah berkembang luas. Realitas ekonomi dan sosial membuat sebagian besar warga tetap bergantung pada pusat, terutama dalam distribusi bantuan, rekonstruksi, dan layanan publik.

Namun, pesan utama yang muncul dari fenomena ini adalah bahwa luka lama Suriah belum sembuh. Elite lama yang kehilangan kekuasaan masih mencari cara untuk mempertahankan status, meski dengan narasi kemandirian.

Fenomena ini sekaligus membuka mata publik internasional bahwa konflik Suriah tidak hanya soal oposisi versus rezim, tetapi juga tentang transformasi sosial ketika mayoritas rakyat yang dulu dipinggirkan kini mengambil alih panggung.

Gerakan massa di Sweida akan menjadi penentu arah ke depan. Apakah ini hanya gelombang sesaat, atau awal dari babak baru separatisme elit di Suriah?

Yang jelas, sejarah mencatat bahwa mereka yang dulu berada di atas, kini merasakan getirnya berada di bawah. Dan dari situlah lahir fenomena aneh: elite lama yang meminta merdeka dari rakyat yang pernah mereka tindas.

·   0

Sabtu, 20 September 2025

Jejak Hubungan Sultan Iskandar Muda dan Kerajaan Sibayak Suka di Tanah Karo

Hubungan antara Kesultanan Aceh Darussalam dengan Tanah Karo tercatat dalam sejarah sebagai salah satu bentuk interaksi politik dan budaya yang unik di Sumatera pada abad ke-17. Sultan Iskandar Muda, penguasa besar Aceh yang berkuasa antara tahun 1607 hingga 1636, memainkan peran penting dalam menata struktur pemerintahan tradisional di Tanah Karo. Salah satu langkahnya adalah mengakui dan meresmikan lima kerajaan adat yang kemudian dikenal sebagai Sibayak.

Keputusan Sultan Iskandar Muda ini tidak lahir tanpa sebab. Tanah Karo kala itu diwarnai oleh perselisihan antarkelompok atau urung, yaitu wilayah-wilayah adat yang sering kali bersaing satu sama lain. Untuk meredam konflik dan menciptakan stabilitas, Sultan Aceh menata ulang kekuasaan lokal dengan mengangkat lima raja adat yang diakui resmi, salah satunya adalah Sibayak Suka.

Sibayak Suka dipimpin oleh seorang raja bermerga Ginting Suka (Kudadiri) dan berkedudukan di Desa Suka. Di bawahnya, terdapat empat urung yang masing-masing memiliki pusat pemerintahan, yakni Urung Suka di Suka, Urung Sukapiring di Seberaya, Urung Ajinembah di Ajinembah, dan Urung Tongging di Tongging. Struktur ini mencerminkan model pemerintahan yang lebih terorganisir dibandingkan sebelumnya.

Langkah Sultan Iskandar Muda dalam meresmikan Sibayak-Sibayak bukan hanya strategi politik, tetapi juga cara untuk memperluas pengaruh Aceh di pedalaman Sumatera. Dengan mengakui pemimpin lokal, Sultan menciptakan sistem aliansi yang membuat Aceh memiliki mitra politik dan dagang di wilayah yang sebelumnya berada di luar jangkauan langsung.

Sibayak Suka, sebagai bagian dari struktur ini, memiliki peran strategis. Wilayahnya yang berada di dataran tinggi Karo menjadi penghubung antara pesisir timur Sumatera yang dikuasai Aceh dengan pedalaman yang kaya sumber daya. Dengan demikian, hubungan Sultan Iskandar Muda dengan Sibayak Suka tidak hanya berdimensi politik, tetapi juga ekonomi.

Bagi masyarakat Karo, pengakuan dari Sultan Iskandar Muda memperkuat legitimasi raja-raja adat. Hal ini menjadikan posisi Sibayak Suka semakin kokoh dalam struktur sosial. Hubungan ini juga membuka jalan bagi interaksi budaya, termasuk kemungkinan masuknya pengaruh Islam ke kawasan Karo meskipun masyarakat tetap mempertahankan adat dan kepercayaan tradisionalnya.

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai pemimpin visioner yang memahami pentingnya stabilitas internal. Dengan menata urusan di Tanah Karo, ia sebenarnya sedang membangun perimbangan kekuasaan agar wilayah pedalaman tidak mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Aceh, seperti Portugis maupun Johor.

Kebijakan tersebut sejalan dengan strategi besar Aceh di masa itu. Kesultanan Aceh tidak hanya berperang di laut melawan kekuatan Eropa, tetapi juga berupaya mengendalikan jalur dagang di daratan. Keberadaan Sibayak Suka dan empat Sibayak lainnya menjadi benteng alami sekaligus mitra politik.

Relasi Aceh dan Tanah Karo melalui Sibayak Suka juga menegaskan bahwa Sultan Iskandar Muda tidak semata-mata menaklukkan wilayah, melainkan lebih mengedepankan model integrasi berbasis pengakuan adat. Pola ini membuat hubungan Aceh dengan daerah pedalaman Sumatera berlangsung relatif damai.

Dalam perspektif sejarah lokal, Sibayak Suka tetap dikenang sebagai salah satu dari lima kerajaan adat utama di Karo. Posisi ini lahir berkat kebijakan Sultan Iskandar Muda, yang menempatkannya sejajar dengan Sibayak Lingga, Sibayak Sarinembah, Sibayak Barusjahe, dan Sibayak Kutabuluh.

Meskipun hubungan Aceh dengan Sibayak Suka tidak selalu dicatat dalam naskah tertulis, ingatan kolektif masyarakat Karo menyimpan cerita tentang campur tangan Sultan Aceh dalam mengatur kehidupan politik mereka. Hal ini memperlihatkan adanya persinggungan antara kekuatan besar di pesisir dengan otoritas lokal di pedalaman.

Keberadaan urung-urung di bawah Sibayak Suka juga memperlihatkan bagaimana konsep pemerintahan Aceh berpadu dengan struktur adat Karo. Para Raja Urung dan Pengulu tetap memegang kekuasaan lokal, tetapi berada dalam satu kerangka yang lebih besar di bawah Sibayak.

Dari sisi budaya, hubungan ini juga membuka ruang pertukaran. Meskipun masyarakat Karo tidak sepenuhnya masuk dalam lingkup budaya Islam Aceh, interaksi yang terjadi membawa dampak pada perdagangan, bahasa, dan diplomasi.

Sibayak Suka sendiri menjadi simbol kompromi antara adat Karo dengan kepentingan politik Aceh. Ia menunjukkan bahwa integrasi wilayah bisa tercapai tanpa menghapus identitas lokal.

Kebijakan Sultan Iskandar Muda di Tanah Karo juga mencerminkan strategi politik Aceh yang inklusif. Dengan mengakui Sibayak, ia berhasil menanamkan pengaruh tanpa perlu menempatkan pasukan besar di pedalaman. Hal ini menghemat sumber daya sekaligus memperkuat hubungan diplomatis.

Bagi Kesultanan Aceh, hubungan dengan Sibayak Suka memberi keuntungan strategis. Selain memperkuat kontrol atas jalur perdagangan darat, Aceh juga mendapatkan dukungan moral dari masyarakat pedalaman yang mengakui wibawa Sultan.

Sementara itu, bagi Sibayak Suka, hubungan dengan Aceh memberi legitimasi dan perlindungan. Dalam konteks politik lokal, hal ini membuatnya lebih disegani oleh kerajaan adat lainnya di Karo.

Dengan demikian, hubungan Sultan Iskandar Muda dengan Sibayak Suka bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah contoh bagaimana diplomasi tradisional membentuk tatanan politik di Sumatera. Ia memperlihatkan simbiosis antara kekuasaan pesisir dan otoritas pedalaman.

Hingga kini, jejak hubungan tersebut masih dikenang dalam tradisi lisan masyarakat Karo. Cerita tentang peran Sultan Iskandar Muda dalam meresmikan lima Sibayak, termasuk Sibayak Suka, menjadi bagian penting dari identitas sejarah Karo dan Sumatera secara keseluruhan.

Melalui kebijakan tersebut, Sultan Iskandar Muda tidak hanya dikenang sebagai penguasa besar Aceh, tetapi juga sebagai sosok yang turut membentuk peta politik dan adat di Tanah Karo. Hubungan itu kini menjadi warisan sejarah yang memperlihatkan betapa luas dan dalamnya pengaruh Aceh di masa jayanya.

·   0

Sabtu, 28 Juni 2025

PBB Tegaskan Golan Milik Suriah


Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali menegaskan bahwa keberadaan pasukan pendudukan Israel di wilayah zona penyangga Dataran Tinggi Golan Suriah merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Operasi Pemeliharaan Perdamaian, Jean-Pierre Lacroix, menyampaikan pernyataan tegas ini dalam konferensi pers di markas besar PBB, New York.

Dalam penjelasannya, Lacroix menggarisbawahi bahwa keberadaan militer Israel di kawasan yang seharusnya netral tersebut jelas melanggar ketentuan dalam Perjanjian Pemisahan Pasukan tahun 1974. Perjanjian ini secara eksplisit menetapkan bahwa hanya pasukan PBB yang diperbolehkan untuk hadir secara militer di zona penyangga antara Suriah dan Israel.

PBB melalui misi United Nations Disengagement Observer Force (UNDOF) telah lama menjalankan tugasnya untuk memantau gencatan senjata dan menjaga ketertiban di kawasan Golan yang sensitif. Keberadaan militer Israel di wilayah ini tidak hanya mencederai kesepakatan internasional, tetapi juga membahayakan stabilitas kawasan yang rawan konflik.

Lacroix juga menambahkan bahwa pemerintah Suriah secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap keberadaan pasukan UNDOF. Pemerintah Damaskus menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab secara penuh atas keamanan di seluruh wilayah kedaulatannya, termasuk di daerah-daerah tempat misi PBB beroperasi.

Pernyataan ini dinilai sebagai sinyal penting bahwa otoritas Suriah kini semakin aktif berkoordinasi dengan lembaga internasional dalam rangka menegakkan hukum dan stabilitas di kawasan. Lacroix menyebut bahwa komunikasi yang intensif dengan pihak Suriah telah membuka ruang bagi UNDOF untuk melanjutkan dan bahkan memperluas jangkauan operasinya.

Situasi di Dataran Tinggi Golan memang menjadi isu sensitif sejak Israel mendudukinya pada tahun 1967 dan secara sepihak mencaploknya pada 1981, langkah yang tidak diakui oleh mayoritas komunitas internasional. PBB secara konsisten menganggap wilayah tersebut sebagai bagian dari Suriah yang diduduki secara ilegal.

Zona penyangga di Golan dibentuk sebagai bagian dari upaya menjaga pemisahan pasukan antara Suriah dan Israel pasca konflik bersenjata. Keberadaan UNDOF yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB merupakan instrumen penting dalam menjaga ketenangan di wilayah tersebut.

Namun kehadiran pasukan Israel di zona penyangga telah merusak tatanan tersebut. Banyak pihak khawatir bahwa tindakan ini dapat memicu eskalasi baru yang tidak hanya mengancam Suriah tetapi juga merambat ke kawasan lain di Timur Tengah.

Lacroix menekankan bahwa UNDOF terus bekerja maksimal di lapangan untuk menjamin pelaksanaan Perjanjian 1974. Ia memuji profesionalisme pasukan penjaga perdamaian PBB yang tetap menjalankan tugas di tengah berbagai risiko keamanan.

PBB juga menyatakan keprihatinan atas sejumlah insiden pelanggaran yang dilakukan oleh militer Israel di wilayah pemisah. Dalam beberapa laporan tahunan sebelumnya, Dewan Keamanan telah menyoroti manuver-manuver Israel yang dianggap sebagai bentuk provokasi.

Meningkatnya aktivitas militer Israel di Golan juga berdampak pada akses dan mobilitas pasukan UNDOF. Beberapa wilayah menjadi sulit dijangkau karena kehadiran pasukan asing yang tidak memiliki mandat internasional.

Sementara itu, Suriah secara diplomatik terus menyuarakan keberatannya terhadap pendudukan Israel di forum-forum internasional. Pemerintah Suriah menegaskan bahwa Golan adalah bagian tidak terpisahkan dari wilayahnya dan akan terus diperjuangkan melalui jalur hukum.

Jean-Pierre Lacroix menyebut bahwa dukungan pemerintah Suriah terhadap UNDOF menjadi modal penting bagi keberhasilan misi pemantauan PBB di kawasan tersebut. Ia berharap kerja sama ini akan terus meningkat di masa mendatang.

Ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan misi penjaga perdamaian sangat bergantung pada penghormatan semua pihak terhadap ketentuan hukum internasional. Pelanggaran terhadap zona netral tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.

Langkah Israel yang terus memperkuat kehadiran militernya di wilayah ini dinilai kontraproduktif terhadap upaya perdamaian. Banyak analis menilai bahwa Israel tengah berupaya mempermanenkan pendudukannya dengan cara-cara bertentangan dengan hukum.

Situasi ini menempatkan PBB dalam posisi yang menantang. Di satu sisi, organisasi dunia ini ingin mempertahankan mandat damainya, namun di sisi lain, pelanggaran yang terus terjadi menuntut respons yang lebih tegas.

Jean-Pierre Lacroix menegaskan bahwa PBB akan terus memonitor perkembangan di Golan dan menyerukan kepada Israel untuk segera menarik diri dari zona penyangga. Ia menyebut pentingnya menjaga kepercayaan terhadap sistem internasional.

Penegasan dari PBB ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa komunitas internasional belum menerima tindakan sepihak Israel. Konsistensi PBB dalam menolak pendudukan wilayah asing menjadi dasar dari tata hubungan internasional yang adil dan damai.

Dalam penutup pernyataannya, Lacroix mengajak seluruh pihak untuk mematuhi kesepakatan internasional dan menghindari tindakan yang dapat memperkeruh situasi. PBB, katanya, tetap berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan keadilan di kawasan yang penuh dinamika ini.

·   0

Selasa, 24 Juni 2025

Azerbaijan; Karabakh Bangkit di Tengah Berbagai Tantangan





Setelah puluhan tahun menjadi medan konflik berdarah, pemerintah Azerbaijan kini memulai babak baru dalam sejarah Nagorno-Karabakh dengan ambisi besar: membangun kembali wilayah itu dari puing-puing perang dan mengembalikannya sebagai tanah kehidupan yang layak bagi semua warga yang pernah terusir. Dalam kurun 2021 hingga 2023, Azerbaijan telah menggelontorkan dana sebesar 12 miliar manat atau sekitar USD 7,1 miliar, ditambah 4,8 miliar manat pada 2024 dan rencana 4 miliar manat untuk 2025. Total anggaran fantastis ini difokuskan pada pembangunan infrastruktur dasar seperti transportasi, energi, komunikasi, pendidikan, dan kesehatan.

Pembangunan kembali ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga sangat simbolis. Bagi pemerintah Azerbaijan, proyek ini merupakan momen pembuktian bahwa Karabakh adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan mereka. Di atas kertas, rencana yang disusun begitu detail, termasuk pengembangan "master plans" untuk kota-kota penting seperti Khankendi, Khojaly, Khojavend, dan Agdere. Sebuah pabrik tekstil yang baru dibuka di Khankendi kini mempekerjakan 400 orang, dan dalam waktu dekat jumlah itu ditargetkan mencapai 800.

Namun, di balik gegap gempita angka dan pembangunan fisik, muncul pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam: bagaimana integrasi sosial dari para pengungsi internal bisa dijamin secara nyata? Apakah cukup lapangan kerja, layanan publik, dan infrastruktur sosial tersedia bagi mereka yang pulang? Tidak kalah penting, bagaimana soal keadilan, kompensasi, dan trauma yang masih membekas?

Pemerintah Azerbaijan menargetkan sekitar 40.000 orang dapat kembali ke Karabakh pada tahun 2026. Namun, sejumlah pengamat menyebut angka itu masih spekulatif. Bukan karena tidak mungkin secara fisik, tetapi karena proses pemulangan bukan semata soal membangun rumah, melainkan juga membangun kembali rasa aman, kepercayaan, dan identitas. Banyak warga, baik etnis Azeri, Armenia, maupun Kurdi, telah hidup di tempat lain selama puluhan tahun dan tidak semua dari mereka merasa siap atau diterima untuk kembali.

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana rekonsiliasi etnis akan berlangsung. Dalam wilayah yang pernah dihuni oleh komunitas Armenia dan Kurdi secara signifikan setelah pengusiran orang Azeri oleh orang Armenia, tidak semua pihak merasa rekonstruksi ini inklusif.

Di sisi lain, komunitas Kurdi yang pernah memiliki jejak panjang di wilayah ini juga masih dalam posisi serba menggantung, warga Kurdi juga menjadi korban kekerjaman Armenia di masa lalu.

Mereka belum memiliki jaminan keterlibatan dalam proses politik maupun alokasi sumber daya pembangunan. Tidak sedikit Kurdi yang menyambut baik pembangunan kembali, tetapi menuntut adanya pengakuan atas sejarah dan kontribusi mereka di wilayah tersebut.

Pembangunan infrastruktur memang terlihat progresif. Jalan-jalan baru mulai membentang, universitas dirintis, pusat layanan kesehatan mulai beroperasi, dan jaringan listrik serta air diperluas. Tapi pembangunan sosial memerlukan pendekatan yang lebih mendalam dan sensitif terhadap sejarah konflik. Trauma masa lalu tidak bisa dihapus dengan beton dan kabel saja.

Banyak warga yang kembali masih dihantui kenangan pahit pengusiran dan kekerasan. Sejumlah keluarga Azeri yang kini kembali ke rumah mereka di Fuzuli atau Shusha mendapati bahwa rumah tersebut telah hancur atau diubah selama pendudukan. Banyak masjid telah diubah menjadi kandang babi oleh pendatang Armenia. Mereka pun harus memulai dari nol. Bahkan, sebagian mengaku merasa asing di tanah yang dulu mereka tinggalkan.

Proses pembangunan Karabakh juga diwarnai ketegangan geopolitik yang belum sepenuhnya padam. Meski operasi militer Azerbaijan telah berhasil menguasai kembali wilayah tersebut, sentimen anti-Armenia masih mengemuka dalam wacana publik, khususnya pada isu persekusi mereka kepada warga non-Kristen di masa lalu. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi rencana jangka panjang untuk menjadikan Karabakh wilayah multietnis yang stabil.

Sementara itu, kalangan internasional menyambut baik pembangunan kembali ini, meski tetap mengawasi prosesnya dengan hati-hati. Uni Eropa dan sejumlah badan PBB telah menyatakan dukungan untuk pemulihan Karabakh, namun mendorong agar proses tersebut dilakukan dengan menjunjung hak asasi manusia dan prinsip non-diskriminasi.

Proyek pembangunan Karabakh juga mengundang perhatian diaspora. Banyak warga Azerbaijan di luar negeri menyumbang atau menyatakan niat untuk kembali. Namun realitas di lapangan belum tentu seindah harapan. Kurangnya fasilitas dasar, tantangan logistik, serta risiko keamanan membuat sebagian dari mereka menunda rencana tersebut.

Pemulangan pengungsi bukan hanya soal membuka jalan kembali ke rumah, tetapi juga membangun jembatan ke masa depan. Pemerintah Azerbaijan menyadari bahwa tanpa kepercayaan publik, dana triliunan sekalipun tidak akan cukup. Oleh karena itu, program-program pemberdayaan sosial dan psikososial mulai digulirkan, meski skalanya masih terbatas.

Sebagian kelompok sipil mendesak agar pemerintah juga membuka ruang dialog dengan kelompok Armenia dan Kurdi, agar proses rekonstruksi tidak hanya menjadi milik satu etnis atau satu narasi sejarah. Tanpa inklusivitas, Karabakh bisa kembali menjadi bom waktu.

Kini, Karabakh memang sedang dibangun kembali secara fisik. Tapi pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung: apakah kembalinya para pengungsi ini hanyalah pemulihan fisik, atau langkah menuju kehidupan yang bermartabat? Masa depan Karabakh akan ditentukan bukan hanya oleh beton dan baja, tapi oleh kemampuan masyarakatnya untuk berdamai dengan masa lalu dan membangun harapan bersama.


·   0

Kurdistan Merah: Dari Soviet ke Era Kini


Di balik gejolak geopolitik Kaukasus, terdapat kisah yang terlupakan tentang satu wilayah bernama Red Kurdistan atau Kurdistan Uezd. Dibentuk pada 7 Juli 1923 oleh pemerintah Republik Sosialis Soviet Azerbaijan, wilayah administratif ini berpusat di Lachin dan mencakup distrik Kalbajar, Qubadli, dan sebagian Jabrayil. Pendirian wilayah ini adalah bagian dari strategi Soviet untuk mengakomodasi komunitas Kurdi yang mayoritas bermazhab Syiah, berbeda dari saudara mereka di wilayah Nakhichevan atau Timur Tengah yang umumnya Sunni.


Penduduk Kurdistan Uezd pada sensus tahun 1926 mencapai lebih dari 51 ribu jiwa, dengan 72 persen di antaranya adalah etnis Kurdi. Meski demikian, menariknya, lebih dari 90 persen penduduk mengaku menggunakan bahasa Turkik (yang kemudian dikenal sebagai bahasa Azerbaijan) sebagai bahasa ibu, mencerminkan proses asimilasi yang sudah mulai berjalan sejak awal.


Eksistensi Red Kurdistan tak berlangsung lama. Pada 8 April 1929, wilayah ini dibubarkan bersama dengan semua uezd lainnya sebagai bagian dari restrukturisasi administratif Soviet. Namun, hanya setahun kemudian, pada 30 Mei 1930, pemerintah Soviet mendirikan kembali wilayah ini dengan nama Kurdistan Okrug dalam upaya menarik simpati Kurdi di Iran dan Turki, serta memanfaatkan semangat nasionalisme Kurdi yang sedang tumbuh di kawasan tersebut.


Sayangnya, langkah itu mendapat tentangan keras dari Kementerian Luar Negeri Soviet sendiri, yang khawatir dengan dampak diplomatik terhadap hubungan dengan Turki dan Iran. Akibatnya, Kurdistan Okrug dibubarkan hanya dua bulan kemudian, pada 23 Juli 1930. Keputusan ini menandai awal dari kebijakan represif terhadap Kurdi di wilayah Kaukasus Soviet.


Setelah pembubaran resmi, masyarakat Kurdi di Azerbaijan dan Armenia menghadapi tekanan budaya dan politik. Asimilasi terhadap budaya dominan Azeri menjadi hal umum, terutama melalui pernikahan campuran yang sering kali membuat generasi baru kehilangan bahasa Kurdi sebagai bahasa warisan.


Penindasan terhadap etnis Kurdi mencapai puncaknya pada akhir 1930-an saat terjadi deportasi massal oleh otoritas Soviet. Ribuan Kurdi dari Azerbaijan dan Armenia dikirim ke wilayah-wilayah terpencil seperti Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgizstan, dan Uzbekistan. Mereka menjadi korban pembersihan etnis Stalin, yang menganggap kelompok etnis minoritas sebagai potensi ancaman bagi kestabilan negara.


Dalam gelombang deportasi besar-besaran pada 1944, komunitas Kurdi di Georgia juga mengalami nasib serupa. Mereka dijadikan target dalam rangkaian kebijakan paranoid Stalin yang dikenal sebagai Great Purge. Eksodus ini membuat banyak Kurdi kehilangan akar sosial dan budaya mereka selama beberapa generasi.


Kini, jejak Red Kurdistan nyaris terlupakan. Wilayah yang pernah menjadi simbol eksistensi Kurdi di Kaukasus kini telah menjadi bagian dari dinamika konflik etnis dan teritorial antara Armenia dan Azerbaijan, khususnya di kawasan Lachin yang juga menjadi titik krusial dalam konflik Nagorno-Karabakh.


Komunitas Kurdi yang tersisa di Armenia dan Azerbaijan hidup dalam bayang-bayang sejarah yang kompleks. Di Armenia, sebagian besar Kurdi adalah penganut kepercayaan Yazidi yang relatif lebih dilindungi. Mereka masih mempertahankan bahasa dan budaya sendiri serta memiliki sedikit representasi dalam kehidupan publik.


Di Azerbaijan, keberadaan Kurdi lebih tersembunyi. Akibat tekanan sejarah dan kebijakan asimilasi, banyak Kurdi di sana sudah mengidentifikasi diri sebagai Azeri secara linguistik dan budaya. Bahkan, penggunaan bahasa Kurdi di ruang publik nyaris punah.


Soal representasi politik, posisi Kurdi di kedua negara tidak sekuat di kawasan lain seperti Irak. Di Armenia, Yazidi Kurdi memiliki kursi minoritas dalam parlemen, namun mereka lebih diakui sebagai kelompok etnis dan agama, bukan sebagai bagian dari agenda politik Kurdi secara luas.


Sementara di Azerbaijan, tidak ada perwakilan resmi dari komunitas Kurdi dalam struktur politik atau parlemen nasional. Ini berbeda jauh dengan negara-negara lain yang memiliki komunitas Kurdi besar seperti Irak atau Suriah, di mana perwakilan Kurdi memainkan peran signifikan.


Meski tidak lagi memiliki wilayah administratif sendiri, seperti Red Kurdistan di masa lalu, identitas Kurdi di Kaukasus tetap bertahan dalam bentuk komunitas-komunitas kecil yang tersebar. Namun, ancaman kehilangan bahasa dan budaya masih menghantui mereka dari generasi ke generasi.


Red Kurdistan kini menjadi simbol dari eksperimen politik Soviet yang gagal. Ia pernah menjadi cerminan harapan bagi minoritas Kurdi untuk mendapat pengakuan administratif, namun akhirnya dibungkam oleh realitas geopolitik yang lebih besar.


Di tengah kebangkitan identitas Kurdi di beberapa bagian Timur Tengah, warisan Red Kurdistan tetap menjadi pengingat akan sejarah yang pahit, namun penting untuk dipelajari. Ia menandai bagaimana etnis minoritas bisa dengan cepat menjadi pion dalam permainan kekuasaan imperium.


Meski secara administratif telah hilang dari peta sejak 1930, Red Kurdistan tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Kurdi yang tersebar di Armenia, Azerbaijan, dan bahkan Kazakhstan, tempat generasi keturunan mereka kini membangun kehidupan baru.


Kisah Red Kurdistan adalah cerita tentang harapan, pengkhianatan, dan peluruhan identitas. Ia juga menjadi cermin dari kebijakan imperial yang mempermainkan nasib sebuah bangsa demi kepentingan strategi jangka pendek.

Baca selanjutnya

Gerakan Kebebasan Kurdistan Kaukasus mengadakan pertemuan di Lachin dan mendeklarasikan berdirinya Republik Kurdistan Lachin pada 20 Mei 1992, sambil mengibarkan bendera Kurdistan di kota tersebut. Suasana upacara deklarasi ini dibandingkan dengan perayaan pernikahan. Sekitar 70 intelektual dan pemuda Kurdi hadir, bersama beberapa pengamat dari Armenia; sekitar 20 di antara pemuda tersebut bersenjata. Mereka tiba di Lachin menggunakan bus yang disediakan oleh pemerintah kota Yerevan. Dalam upacara deklarasi itu, Mistefayêv diumumkan sebagai perdana menteri, dan ia mengumumkan beberapa anggota kabinetnya: Sheref e Eshir sebagai wakil perdana menteri; Karlan e Chachani sebagai Menteri Kebudayaan, dan Emerike Serdar sebagai Menteri Informasi. Distrik Lachin, Jabrayil, Kalbajar, Qubadli, dan Zangilan seluruhnya berada di bawah administrasi republik ini.


Namun, pada akhir bulan, Mistefayêv telah memprediksi keruntuhan republik tersebut dan mengatakan kepada Özgür Gündem bahwa Armenia tidak mengirimkan bantuan atau senjata apa pun kepada mereka, dan bahwa rencana untuk mendatangkan orang Kurdi dari bagian lain bekas Uni Soviet telah gagal. Meskipun demikian, kongres pertama republik ini tetap dilangsungkan pada 9 Juni, dan menghasilkan pemilihan Mistefayêv sebagai presiden.


Sikap Armenia terhadap aksi para nasionalis Kurdi pada awalnya cukup mendukung. Deklarasi republik ini, menurut pandangan otoritas Armenia, bisa dimanfaatkan sebagai alat tawar terhadap Azerbaijan dengan menunjukkan bahwa Kurdi dan Armenia berdiri bersama dalam menghadapi Azerbaijan. Selain itu, diasumsikan bahwa Republik Kurdistan Lachin secara efektif akan berada di bawah kedaulatan tidak langsung (suzerainty) Armenia dan keberadaannya tidak akan mengganggu koridor Lachin yang menghubungkan Armenia dengan wilayah inti Nagorno-Karabakh.


Pemerintah Rusia juga memberikan dukungan kepada republik baru ini; pada Juni 1992, Mistefayêv melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Dalam sebuah wawancara dengan Rudaw pada tahun 2014, Mistefayêv mengklaim bahwa setelah pertemuannya dengan pihak Rusia, Azerbaijan berusaha menyuapnya agar ia membubarkan republik tersebut, namun ia menolak.


Yang membuat Azerbaijan sangat kesal, Armenia terus mendukung Republik Kurdistan Lachin sepanjang tahun 1992. Media Azerbaijan secara rutin mengecam apa yang mereka lihat sebagai upaya bersama Kurdi-Armenia untuk mengacaukan stabilitas Azerbaijan. Wakil presiden organisasi Gerakan Pembebasan Kurdi, Alikhane Mame, mengatakan bahwa nasib bangsa Kurdi bergantung pada kemenangan Armenia dalam perang, dan pernyataannya ini disiarkan ulang di media Armenia, yang semakin memancing kemarahan Azerbaijan. Kurdistan Kaukasus mengadakan pertemuan di Lachin dan mendeklarasikan berdirinya Republik Kurdistan Lachin pada 20 Mei 1992, sambil mengibarkan bendera Kurdistan di kota tersebut. Suasana upacara deklarasi ini dibandingkan dengan perayaan pernikahan. Sekitar 70 intelektual dan pemuda Kurdi hadir, bersama beberapa pengamat dari Armenia; sekitar 20 di antara pemuda tersebut bersenjata. Mereka tiba di Lachin menggunakan bus yang disediakan oleh pemerintah kota Yerevan. Dalam upacara deklarasi itu, Mistefayêv diumumkan sebagai perdana menteri, dan ia mengumumkan beberapa anggota kabinetnya: Sheref e Eshir sebagai wakil perdana menteri; Karlan e Chachani sebagai Menteri Kebudayaan, dan Emerike Serdar sebagai Menteri Informasi. Distrik Lachin, Jabrayil, Kalbajar, Qubadli, dan Zangilan seluruhnya berada di bawah administrasi republik ini.


Namun, pada akhir bulan, Mistefayêv telah memprediksi keruntuhan republik tersebut dan mengatakan kepada Özgür Gündem bahwa Armenia tidak mengirimkan bantuan atau senjata apa pun kepada mereka, dan bahwa rencana untuk mendatangkan orang Kurdi dari bagian lain bekas Uni Soviet telah gagal. Meskipun demikian, kongres pertama republik ini tetap dilangsungkan pada 9 Juni, dan menghasilkan pemilihan Mistefayêv sebagai presiden.


Sikap Armenia terhadap aksi para nasionalis Kurdi pada awalnya cukup mendukung. Deklarasi republik ini, menurut pandangan otoritas Armenia, bisa dimanfaatkan sebagai alat tawar terhadap Azerbaijan dengan menunjukkan bahwa Kurdi dan Armenia berdiri bersama dalam menghadapi Azerbaijan. Selain itu, diasumsikan bahwa Republik Kurdistan Lachin secara efektif akan berada di bawah kedaulatan tidak langsung (suzerainty) Armenia dan keberadaannya tidak akan mengganggu koridor Lachin yang menghubungkan Armenia dengan wilayah inti Nagorno-Karabakh.


Pemerintah Rusia juga memberikan dukungan kepada republik baru ini; pada Juni 1992, Mistefayêv melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Dalam sebuah wawancara dengan Rudaw pada tahun 2014, Mistefayêv mengklaim bahwa setelah pertemuannya dengan pihak Rusia, Azerbaijan berusaha menyuapnya agar ia membubarkan republik tersebut, namun ia menolak.


Yang membuat Azerbaijan sangat kesal, Armenia terus mendukung Republik Kurdistan Lachin sepanjang tahun 1992. Media Azerbaijan secara rutin mengecam apa yang mereka lihat sebagai upaya bersama Kurdi-Armenia untuk mengacaukan stabilitas Azerbaijan. Wakil presiden organisasi Gerakan Pembebasan Kurdi, Alikhane Mame, mengatakan bahwa nasib bangsa Kurdi bergantung pada kemenangan Armenia dalam perang, dan pernyataannya ini disiarkan ulang di media Armenia, yang semakin memancing kemarahan Azerbaijan.


Selain dari meningkatnya permusuhan dari pihak Armenia, masalah utama lainnya bagi Republik Kurdistan Lachin adalah kenyataan bahwa mayoritas besar penduduk Kurdi di wilayah tersebut telah melarikan diri akibat perang. Semakin lama semakin jelas bahwa mempertahankan eksistensi republik ini tidak lagi memungkinkan, dan akhirnya republik tersebut runtuh, menandai berakhirnya nasionalisme Kurdi di kawasan tersebut secara definitif. Setelahnya, Republik Nagorno-Karabakh (Artsakh) mengambil alih kendali penuh atas Lachin dan wilayah-wilayah yang sebelumnya diklaim oleh Kurdi. Sisa-sisa komunitas Kurdi di wilayah itu pun meninggalkan daerah tersebut dan pindah ke Azerbaijan.


Pada 2023, Repubkik Artsakh akhirnya juga dibubarkan oleh Azerbaijan.

·   0