Featured Articles
All Stories

Sabtu, 28 Juni 2025

PBB Tegaskan Golan Milik Suriah


Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali menegaskan bahwa keberadaan pasukan pendudukan Israel di wilayah zona penyangga Dataran Tinggi Golan Suriah merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Operasi Pemeliharaan Perdamaian, Jean-Pierre Lacroix, menyampaikan pernyataan tegas ini dalam konferensi pers di markas besar PBB, New York.

Dalam penjelasannya, Lacroix menggarisbawahi bahwa keberadaan militer Israel di kawasan yang seharusnya netral tersebut jelas melanggar ketentuan dalam Perjanjian Pemisahan Pasukan tahun 1974. Perjanjian ini secara eksplisit menetapkan bahwa hanya pasukan PBB yang diperbolehkan untuk hadir secara militer di zona penyangga antara Suriah dan Israel.

PBB melalui misi United Nations Disengagement Observer Force (UNDOF) telah lama menjalankan tugasnya untuk memantau gencatan senjata dan menjaga ketertiban di kawasan Golan yang sensitif. Keberadaan militer Israel di wilayah ini tidak hanya mencederai kesepakatan internasional, tetapi juga membahayakan stabilitas kawasan yang rawan konflik.

Lacroix juga menambahkan bahwa pemerintah Suriah secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap keberadaan pasukan UNDOF. Pemerintah Damaskus menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab secara penuh atas keamanan di seluruh wilayah kedaulatannya, termasuk di daerah-daerah tempat misi PBB beroperasi.

Pernyataan ini dinilai sebagai sinyal penting bahwa otoritas Suriah kini semakin aktif berkoordinasi dengan lembaga internasional dalam rangka menegakkan hukum dan stabilitas di kawasan. Lacroix menyebut bahwa komunikasi yang intensif dengan pihak Suriah telah membuka ruang bagi UNDOF untuk melanjutkan dan bahkan memperluas jangkauan operasinya.

Situasi di Dataran Tinggi Golan memang menjadi isu sensitif sejak Israel mendudukinya pada tahun 1967 dan secara sepihak mencaploknya pada 1981, langkah yang tidak diakui oleh mayoritas komunitas internasional. PBB secara konsisten menganggap wilayah tersebut sebagai bagian dari Suriah yang diduduki secara ilegal.

Zona penyangga di Golan dibentuk sebagai bagian dari upaya menjaga pemisahan pasukan antara Suriah dan Israel pasca konflik bersenjata. Keberadaan UNDOF yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB merupakan instrumen penting dalam menjaga ketenangan di wilayah tersebut.

Namun kehadiran pasukan Israel di zona penyangga telah merusak tatanan tersebut. Banyak pihak khawatir bahwa tindakan ini dapat memicu eskalasi baru yang tidak hanya mengancam Suriah tetapi juga merambat ke kawasan lain di Timur Tengah.

Lacroix menekankan bahwa UNDOF terus bekerja maksimal di lapangan untuk menjamin pelaksanaan Perjanjian 1974. Ia memuji profesionalisme pasukan penjaga perdamaian PBB yang tetap menjalankan tugas di tengah berbagai risiko keamanan.

PBB juga menyatakan keprihatinan atas sejumlah insiden pelanggaran yang dilakukan oleh militer Israel di wilayah pemisah. Dalam beberapa laporan tahunan sebelumnya, Dewan Keamanan telah menyoroti manuver-manuver Israel yang dianggap sebagai bentuk provokasi.

Meningkatnya aktivitas militer Israel di Golan juga berdampak pada akses dan mobilitas pasukan UNDOF. Beberapa wilayah menjadi sulit dijangkau karena kehadiran pasukan asing yang tidak memiliki mandat internasional.

Sementara itu, Suriah secara diplomatik terus menyuarakan keberatannya terhadap pendudukan Israel di forum-forum internasional. Pemerintah Suriah menegaskan bahwa Golan adalah bagian tidak terpisahkan dari wilayahnya dan akan terus diperjuangkan melalui jalur hukum.

Jean-Pierre Lacroix menyebut bahwa dukungan pemerintah Suriah terhadap UNDOF menjadi modal penting bagi keberhasilan misi pemantauan PBB di kawasan tersebut. Ia berharap kerja sama ini akan terus meningkat di masa mendatang.

Ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan misi penjaga perdamaian sangat bergantung pada penghormatan semua pihak terhadap ketentuan hukum internasional. Pelanggaran terhadap zona netral tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.

Langkah Israel yang terus memperkuat kehadiran militernya di wilayah ini dinilai kontraproduktif terhadap upaya perdamaian. Banyak analis menilai bahwa Israel tengah berupaya mempermanenkan pendudukannya dengan cara-cara bertentangan dengan hukum.

Situasi ini menempatkan PBB dalam posisi yang menantang. Di satu sisi, organisasi dunia ini ingin mempertahankan mandat damainya, namun di sisi lain, pelanggaran yang terus terjadi menuntut respons yang lebih tegas.

Jean-Pierre Lacroix menegaskan bahwa PBB akan terus memonitor perkembangan di Golan dan menyerukan kepada Israel untuk segera menarik diri dari zona penyangga. Ia menyebut pentingnya menjaga kepercayaan terhadap sistem internasional.

Penegasan dari PBB ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa komunitas internasional belum menerima tindakan sepihak Israel. Konsistensi PBB dalam menolak pendudukan wilayah asing menjadi dasar dari tata hubungan internasional yang adil dan damai.

Dalam penutup pernyataannya, Lacroix mengajak seluruh pihak untuk mematuhi kesepakatan internasional dan menghindari tindakan yang dapat memperkeruh situasi. PBB, katanya, tetap berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan keadilan di kawasan yang penuh dinamika ini.

·   0

Selasa, 24 Juni 2025

Azerbaijan; Karabakh Bangkit di Tengah Berbagai Tantangan





Setelah puluhan tahun menjadi medan konflik berdarah, pemerintah Azerbaijan kini memulai babak baru dalam sejarah Nagorno-Karabakh dengan ambisi besar: membangun kembali wilayah itu dari puing-puing perang dan mengembalikannya sebagai tanah kehidupan yang layak bagi semua warga yang pernah terusir. Dalam kurun 2021 hingga 2023, Azerbaijan telah menggelontorkan dana sebesar 12 miliar manat atau sekitar USD 7,1 miliar, ditambah 4,8 miliar manat pada 2024 dan rencana 4 miliar manat untuk 2025. Total anggaran fantastis ini difokuskan pada pembangunan infrastruktur dasar seperti transportasi, energi, komunikasi, pendidikan, dan kesehatan.

Pembangunan kembali ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga sangat simbolis. Bagi pemerintah Azerbaijan, proyek ini merupakan momen pembuktian bahwa Karabakh adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan mereka. Di atas kertas, rencana yang disusun begitu detail, termasuk pengembangan "master plans" untuk kota-kota penting seperti Khankendi, Khojaly, Khojavend, dan Agdere. Sebuah pabrik tekstil yang baru dibuka di Khankendi kini mempekerjakan 400 orang, dan dalam waktu dekat jumlah itu ditargetkan mencapai 800.

Namun, di balik gegap gempita angka dan pembangunan fisik, muncul pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam: bagaimana integrasi sosial dari para pengungsi internal bisa dijamin secara nyata? Apakah cukup lapangan kerja, layanan publik, dan infrastruktur sosial tersedia bagi mereka yang pulang? Tidak kalah penting, bagaimana soal keadilan, kompensasi, dan trauma yang masih membekas?

Pemerintah Azerbaijan menargetkan sekitar 40.000 orang dapat kembali ke Karabakh pada tahun 2026. Namun, sejumlah pengamat menyebut angka itu masih spekulatif. Bukan karena tidak mungkin secara fisik, tetapi karena proses pemulangan bukan semata soal membangun rumah, melainkan juga membangun kembali rasa aman, kepercayaan, dan identitas. Banyak warga, baik etnis Azeri, Armenia, maupun Kurdi, telah hidup di tempat lain selama puluhan tahun dan tidak semua dari mereka merasa siap atau diterima untuk kembali.

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana rekonsiliasi etnis akan berlangsung. Dalam wilayah yang pernah dihuni oleh komunitas Armenia dan Kurdi secara signifikan setelah pengusiran orang Azeri oleh orang Armenia, tidak semua pihak merasa rekonstruksi ini inklusif.

Di sisi lain, komunitas Kurdi yang pernah memiliki jejak panjang di wilayah ini juga masih dalam posisi serba menggantung, warga Kurdi juga menjadi korban kekerjaman Armenia di masa lalu.

Mereka belum memiliki jaminan keterlibatan dalam proses politik maupun alokasi sumber daya pembangunan. Tidak sedikit Kurdi yang menyambut baik pembangunan kembali, tetapi menuntut adanya pengakuan atas sejarah dan kontribusi mereka di wilayah tersebut.

Pembangunan infrastruktur memang terlihat progresif. Jalan-jalan baru mulai membentang, universitas dirintis, pusat layanan kesehatan mulai beroperasi, dan jaringan listrik serta air diperluas. Tapi pembangunan sosial memerlukan pendekatan yang lebih mendalam dan sensitif terhadap sejarah konflik. Trauma masa lalu tidak bisa dihapus dengan beton dan kabel saja.

Banyak warga yang kembali masih dihantui kenangan pahit pengusiran dan kekerasan. Sejumlah keluarga Azeri yang kini kembali ke rumah mereka di Fuzuli atau Shusha mendapati bahwa rumah tersebut telah hancur atau diubah selama pendudukan. Banyak masjid telah diubah menjadi kandang babi oleh pendatang Armenia. Mereka pun harus memulai dari nol. Bahkan, sebagian mengaku merasa asing di tanah yang dulu mereka tinggalkan.

Proses pembangunan Karabakh juga diwarnai ketegangan geopolitik yang belum sepenuhnya padam. Meski operasi militer Azerbaijan telah berhasil menguasai kembali wilayah tersebut, sentimen anti-Armenia masih mengemuka dalam wacana publik, khususnya pada isu persekusi mereka kepada warga non-Kristen di masa lalu. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi rencana jangka panjang untuk menjadikan Karabakh wilayah multietnis yang stabil.

Sementara itu, kalangan internasional menyambut baik pembangunan kembali ini, meski tetap mengawasi prosesnya dengan hati-hati. Uni Eropa dan sejumlah badan PBB telah menyatakan dukungan untuk pemulihan Karabakh, namun mendorong agar proses tersebut dilakukan dengan menjunjung hak asasi manusia dan prinsip non-diskriminasi.

Proyek pembangunan Karabakh juga mengundang perhatian diaspora. Banyak warga Azerbaijan di luar negeri menyumbang atau menyatakan niat untuk kembali. Namun realitas di lapangan belum tentu seindah harapan. Kurangnya fasilitas dasar, tantangan logistik, serta risiko keamanan membuat sebagian dari mereka menunda rencana tersebut.

Pemulangan pengungsi bukan hanya soal membuka jalan kembali ke rumah, tetapi juga membangun jembatan ke masa depan. Pemerintah Azerbaijan menyadari bahwa tanpa kepercayaan publik, dana triliunan sekalipun tidak akan cukup. Oleh karena itu, program-program pemberdayaan sosial dan psikososial mulai digulirkan, meski skalanya masih terbatas.

Sebagian kelompok sipil mendesak agar pemerintah juga membuka ruang dialog dengan kelompok Armenia dan Kurdi, agar proses rekonstruksi tidak hanya menjadi milik satu etnis atau satu narasi sejarah. Tanpa inklusivitas, Karabakh bisa kembali menjadi bom waktu.

Kini, Karabakh memang sedang dibangun kembali secara fisik. Tapi pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung: apakah kembalinya para pengungsi ini hanyalah pemulihan fisik, atau langkah menuju kehidupan yang bermartabat? Masa depan Karabakh akan ditentukan bukan hanya oleh beton dan baja, tapi oleh kemampuan masyarakatnya untuk berdamai dengan masa lalu dan membangun harapan bersama.


·   0

Kurdistan Merah: Dari Soviet ke Era Kini


Di balik gejolak geopolitik Kaukasus, terdapat kisah yang terlupakan tentang satu wilayah bernama Red Kurdistan atau Kurdistan Uezd. Dibentuk pada 7 Juli 1923 oleh pemerintah Republik Sosialis Soviet Azerbaijan, wilayah administratif ini berpusat di Lachin dan mencakup distrik Kalbajar, Qubadli, dan sebagian Jabrayil. Pendirian wilayah ini adalah bagian dari strategi Soviet untuk mengakomodasi komunitas Kurdi yang mayoritas bermazhab Syiah, berbeda dari saudara mereka di wilayah Nakhichevan atau Timur Tengah yang umumnya Sunni.


Penduduk Kurdistan Uezd pada sensus tahun 1926 mencapai lebih dari 51 ribu jiwa, dengan 72 persen di antaranya adalah etnis Kurdi. Meski demikian, menariknya, lebih dari 90 persen penduduk mengaku menggunakan bahasa Turkik (yang kemudian dikenal sebagai bahasa Azerbaijan) sebagai bahasa ibu, mencerminkan proses asimilasi yang sudah mulai berjalan sejak awal.


Eksistensi Red Kurdistan tak berlangsung lama. Pada 8 April 1929, wilayah ini dibubarkan bersama dengan semua uezd lainnya sebagai bagian dari restrukturisasi administratif Soviet. Namun, hanya setahun kemudian, pada 30 Mei 1930, pemerintah Soviet mendirikan kembali wilayah ini dengan nama Kurdistan Okrug dalam upaya menarik simpati Kurdi di Iran dan Turki, serta memanfaatkan semangat nasionalisme Kurdi yang sedang tumbuh di kawasan tersebut.


Sayangnya, langkah itu mendapat tentangan keras dari Kementerian Luar Negeri Soviet sendiri, yang khawatir dengan dampak diplomatik terhadap hubungan dengan Turki dan Iran. Akibatnya, Kurdistan Okrug dibubarkan hanya dua bulan kemudian, pada 23 Juli 1930. Keputusan ini menandai awal dari kebijakan represif terhadap Kurdi di wilayah Kaukasus Soviet.


Setelah pembubaran resmi, masyarakat Kurdi di Azerbaijan dan Armenia menghadapi tekanan budaya dan politik. Asimilasi terhadap budaya dominan Azeri menjadi hal umum, terutama melalui pernikahan campuran yang sering kali membuat generasi baru kehilangan bahasa Kurdi sebagai bahasa warisan.


Penindasan terhadap etnis Kurdi mencapai puncaknya pada akhir 1930-an saat terjadi deportasi massal oleh otoritas Soviet. Ribuan Kurdi dari Azerbaijan dan Armenia dikirim ke wilayah-wilayah terpencil seperti Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgizstan, dan Uzbekistan. Mereka menjadi korban pembersihan etnis Stalin, yang menganggap kelompok etnis minoritas sebagai potensi ancaman bagi kestabilan negara.


Dalam gelombang deportasi besar-besaran pada 1944, komunitas Kurdi di Georgia juga mengalami nasib serupa. Mereka dijadikan target dalam rangkaian kebijakan paranoid Stalin yang dikenal sebagai Great Purge. Eksodus ini membuat banyak Kurdi kehilangan akar sosial dan budaya mereka selama beberapa generasi.


Kini, jejak Red Kurdistan nyaris terlupakan. Wilayah yang pernah menjadi simbol eksistensi Kurdi di Kaukasus kini telah menjadi bagian dari dinamika konflik etnis dan teritorial antara Armenia dan Azerbaijan, khususnya di kawasan Lachin yang juga menjadi titik krusial dalam konflik Nagorno-Karabakh.


Komunitas Kurdi yang tersisa di Armenia dan Azerbaijan hidup dalam bayang-bayang sejarah yang kompleks. Di Armenia, sebagian besar Kurdi adalah penganut kepercayaan Yazidi yang relatif lebih dilindungi. Mereka masih mempertahankan bahasa dan budaya sendiri serta memiliki sedikit representasi dalam kehidupan publik.


Di Azerbaijan, keberadaan Kurdi lebih tersembunyi. Akibat tekanan sejarah dan kebijakan asimilasi, banyak Kurdi di sana sudah mengidentifikasi diri sebagai Azeri secara linguistik dan budaya. Bahkan, penggunaan bahasa Kurdi di ruang publik nyaris punah.


Soal representasi politik, posisi Kurdi di kedua negara tidak sekuat di kawasan lain seperti Irak. Di Armenia, Yazidi Kurdi memiliki kursi minoritas dalam parlemen, namun mereka lebih diakui sebagai kelompok etnis dan agama, bukan sebagai bagian dari agenda politik Kurdi secara luas.


Sementara di Azerbaijan, tidak ada perwakilan resmi dari komunitas Kurdi dalam struktur politik atau parlemen nasional. Ini berbeda jauh dengan negara-negara lain yang memiliki komunitas Kurdi besar seperti Irak atau Suriah, di mana perwakilan Kurdi memainkan peran signifikan.


Meski tidak lagi memiliki wilayah administratif sendiri, seperti Red Kurdistan di masa lalu, identitas Kurdi di Kaukasus tetap bertahan dalam bentuk komunitas-komunitas kecil yang tersebar. Namun, ancaman kehilangan bahasa dan budaya masih menghantui mereka dari generasi ke generasi.


Red Kurdistan kini menjadi simbol dari eksperimen politik Soviet yang gagal. Ia pernah menjadi cerminan harapan bagi minoritas Kurdi untuk mendapat pengakuan administratif, namun akhirnya dibungkam oleh realitas geopolitik yang lebih besar.


Di tengah kebangkitan identitas Kurdi di beberapa bagian Timur Tengah, warisan Red Kurdistan tetap menjadi pengingat akan sejarah yang pahit, namun penting untuk dipelajari. Ia menandai bagaimana etnis minoritas bisa dengan cepat menjadi pion dalam permainan kekuasaan imperium.


Meski secara administratif telah hilang dari peta sejak 1930, Red Kurdistan tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Kurdi yang tersebar di Armenia, Azerbaijan, dan bahkan Kazakhstan, tempat generasi keturunan mereka kini membangun kehidupan baru.


Kisah Red Kurdistan adalah cerita tentang harapan, pengkhianatan, dan peluruhan identitas. Ia juga menjadi cermin dari kebijakan imperial yang mempermainkan nasib sebuah bangsa demi kepentingan strategi jangka pendek.

Baca selanjutnya

Gerakan Kebebasan Kurdistan Kaukasus mengadakan pertemuan di Lachin dan mendeklarasikan berdirinya Republik Kurdistan Lachin pada 20 Mei 1992, sambil mengibarkan bendera Kurdistan di kota tersebut. Suasana upacara deklarasi ini dibandingkan dengan perayaan pernikahan. Sekitar 70 intelektual dan pemuda Kurdi hadir, bersama beberapa pengamat dari Armenia; sekitar 20 di antara pemuda tersebut bersenjata. Mereka tiba di Lachin menggunakan bus yang disediakan oleh pemerintah kota Yerevan. Dalam upacara deklarasi itu, Mistefayêv diumumkan sebagai perdana menteri, dan ia mengumumkan beberapa anggota kabinetnya: Sheref e Eshir sebagai wakil perdana menteri; Karlan e Chachani sebagai Menteri Kebudayaan, dan Emerike Serdar sebagai Menteri Informasi. Distrik Lachin, Jabrayil, Kalbajar, Qubadli, dan Zangilan seluruhnya berada di bawah administrasi republik ini.


Namun, pada akhir bulan, Mistefayêv telah memprediksi keruntuhan republik tersebut dan mengatakan kepada Özgür Gündem bahwa Armenia tidak mengirimkan bantuan atau senjata apa pun kepada mereka, dan bahwa rencana untuk mendatangkan orang Kurdi dari bagian lain bekas Uni Soviet telah gagal. Meskipun demikian, kongres pertama republik ini tetap dilangsungkan pada 9 Juni, dan menghasilkan pemilihan Mistefayêv sebagai presiden.


Sikap Armenia terhadap aksi para nasionalis Kurdi pada awalnya cukup mendukung. Deklarasi republik ini, menurut pandangan otoritas Armenia, bisa dimanfaatkan sebagai alat tawar terhadap Azerbaijan dengan menunjukkan bahwa Kurdi dan Armenia berdiri bersama dalam menghadapi Azerbaijan. Selain itu, diasumsikan bahwa Republik Kurdistan Lachin secara efektif akan berada di bawah kedaulatan tidak langsung (suzerainty) Armenia dan keberadaannya tidak akan mengganggu koridor Lachin yang menghubungkan Armenia dengan wilayah inti Nagorno-Karabakh.


Pemerintah Rusia juga memberikan dukungan kepada republik baru ini; pada Juni 1992, Mistefayêv melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Dalam sebuah wawancara dengan Rudaw pada tahun 2014, Mistefayêv mengklaim bahwa setelah pertemuannya dengan pihak Rusia, Azerbaijan berusaha menyuapnya agar ia membubarkan republik tersebut, namun ia menolak.


Yang membuat Azerbaijan sangat kesal, Armenia terus mendukung Republik Kurdistan Lachin sepanjang tahun 1992. Media Azerbaijan secara rutin mengecam apa yang mereka lihat sebagai upaya bersama Kurdi-Armenia untuk mengacaukan stabilitas Azerbaijan. Wakil presiden organisasi Gerakan Pembebasan Kurdi, Alikhane Mame, mengatakan bahwa nasib bangsa Kurdi bergantung pada kemenangan Armenia dalam perang, dan pernyataannya ini disiarkan ulang di media Armenia, yang semakin memancing kemarahan Azerbaijan. Kurdistan Kaukasus mengadakan pertemuan di Lachin dan mendeklarasikan berdirinya Republik Kurdistan Lachin pada 20 Mei 1992, sambil mengibarkan bendera Kurdistan di kota tersebut. Suasana upacara deklarasi ini dibandingkan dengan perayaan pernikahan. Sekitar 70 intelektual dan pemuda Kurdi hadir, bersama beberapa pengamat dari Armenia; sekitar 20 di antara pemuda tersebut bersenjata. Mereka tiba di Lachin menggunakan bus yang disediakan oleh pemerintah kota Yerevan. Dalam upacara deklarasi itu, Mistefayêv diumumkan sebagai perdana menteri, dan ia mengumumkan beberapa anggota kabinetnya: Sheref e Eshir sebagai wakil perdana menteri; Karlan e Chachani sebagai Menteri Kebudayaan, dan Emerike Serdar sebagai Menteri Informasi. Distrik Lachin, Jabrayil, Kalbajar, Qubadli, dan Zangilan seluruhnya berada di bawah administrasi republik ini.


Namun, pada akhir bulan, Mistefayêv telah memprediksi keruntuhan republik tersebut dan mengatakan kepada Özgür Gündem bahwa Armenia tidak mengirimkan bantuan atau senjata apa pun kepada mereka, dan bahwa rencana untuk mendatangkan orang Kurdi dari bagian lain bekas Uni Soviet telah gagal. Meskipun demikian, kongres pertama republik ini tetap dilangsungkan pada 9 Juni, dan menghasilkan pemilihan Mistefayêv sebagai presiden.


Sikap Armenia terhadap aksi para nasionalis Kurdi pada awalnya cukup mendukung. Deklarasi republik ini, menurut pandangan otoritas Armenia, bisa dimanfaatkan sebagai alat tawar terhadap Azerbaijan dengan menunjukkan bahwa Kurdi dan Armenia berdiri bersama dalam menghadapi Azerbaijan. Selain itu, diasumsikan bahwa Republik Kurdistan Lachin secara efektif akan berada di bawah kedaulatan tidak langsung (suzerainty) Armenia dan keberadaannya tidak akan mengganggu koridor Lachin yang menghubungkan Armenia dengan wilayah inti Nagorno-Karabakh.


Pemerintah Rusia juga memberikan dukungan kepada republik baru ini; pada Juni 1992, Mistefayêv melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Dalam sebuah wawancara dengan Rudaw pada tahun 2014, Mistefayêv mengklaim bahwa setelah pertemuannya dengan pihak Rusia, Azerbaijan berusaha menyuapnya agar ia membubarkan republik tersebut, namun ia menolak.


Yang membuat Azerbaijan sangat kesal, Armenia terus mendukung Republik Kurdistan Lachin sepanjang tahun 1992. Media Azerbaijan secara rutin mengecam apa yang mereka lihat sebagai upaya bersama Kurdi-Armenia untuk mengacaukan stabilitas Azerbaijan. Wakil presiden organisasi Gerakan Pembebasan Kurdi, Alikhane Mame, mengatakan bahwa nasib bangsa Kurdi bergantung pada kemenangan Armenia dalam perang, dan pernyataannya ini disiarkan ulang di media Armenia, yang semakin memancing kemarahan Azerbaijan.


Selain dari meningkatnya permusuhan dari pihak Armenia, masalah utama lainnya bagi Republik Kurdistan Lachin adalah kenyataan bahwa mayoritas besar penduduk Kurdi di wilayah tersebut telah melarikan diri akibat perang. Semakin lama semakin jelas bahwa mempertahankan eksistensi republik ini tidak lagi memungkinkan, dan akhirnya republik tersebut runtuh, menandai berakhirnya nasionalisme Kurdi di kawasan tersebut secara definitif. Setelahnya, Republik Nagorno-Karabakh (Artsakh) mengambil alih kendali penuh atas Lachin dan wilayah-wilayah yang sebelumnya diklaim oleh Kurdi. Sisa-sisa komunitas Kurdi di wilayah itu pun meninggalkan daerah tersebut dan pindah ke Azerbaijan.


Pada 2023, Repubkik Artsakh akhirnya juga dibubarkan oleh Azerbaijan.

·   0

Senin, 07 April 2025

Contoh Ucapan Selamat Lebaran/Idul Fitri Bahasa Batak Toba


 * Selamat Ari Raya Idul Fitri ma di hita saluhutna, sai dipasu-pasu jala dirahmati Allah SWT ma hita di ari nauli on dohot di ari na mangihut, dipargogoi ma hita laho mangulahon na denggan. Maaf Lahir Batin.

 * Di ari nauli on, marlas ni roha ma hita ala nunga sidung hita marpuasa di bulan Ramadan nauli, sai dipasuthi Allah SWT ma ibadah ta jala dipadomu ma hita tu hasadaon dohot dame. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah, sai lam tu denggan na ma parsaoranta dohot dongan, keluarga, nang sude jolma, dipasolhot ma hita tu dalan na diridhoi Allah SWT. Maaf Lahir Batin.

 * Marhitehite ari nauli on, sai masipaoloan ma hita, masiurupan, jala marsihaholongan songon diajarhon ni agama Islam, sai dipasuparsup ma hita laho mangulahon lomo ni roha ni Allah SWT. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Hari Raya Idul Fitri, sai dipasabam ma roha ni angka na marsak, dipagomos ma uhum na sintong, jala dipatiur ma angka dalan na golap di parngoluonta siganup ari. Maaf Lahir Batin.

 * Di ari kemenangan on, sai lam marganda ma haporseaonta tu Allah SWT, dipargogoi ma hita laho mangaradoti hablumminallah dohot hablumminannas, asa boi hita mangolu mardame di portibi on. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Idul Fitri ma di hamu sude dongan sahaporseaon, sai dipasada ma roha dohot pingkiran ta laho mangadopi angka tantangan di jaman on, jala dipataru ma hita tu surgo nauli. Maaf Lahir Batin.

 * Marhitehite bohi na marsinondang dohot roha na ias, hupasahat hami ma Selamat Hari Raya Idul Fitri, sai dipasuparsup ma keluarga ta, dipadaulat ma angka paradaton na denggan. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Hari Raya Idul Fitri, sai dipasihar ma angka parange na denggan di bagasan dirinta, dipadao ma angka sifat na roa, jala dipasolhot ma hita tu hasintongan dohot habonaron. Maaf Lahir Batin.

 * Di ari na timbul on, sai lam mangolu ma rasa persaudaraan di tongatonga ni hita, dipargogoi ma hita laho mangalehon asi ni roha tu angka na hurangan, songon diajarhon ni agama. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Ari Raya Idul Fitri, sai dipatiur ma roha ta laho mananda lomo ni roha ni Allah SWT, dipargogoi ma hita laho mangulahon parentaNa dohot manjauhi angka na dioraiNa. Maaf Lahir Batin.

 * Marhitehite ari pamasumasuon on, sai lam tu godang na ma rasa syukurta tu Allah SWT, ala godang ni angka silehonlehonNa na so tardok, sai boi ma hita maniru parange ni angka na burju. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Hari Raya Idul Fitri, sai dipasabam ma hita di angka hasusaan, dipargogoi ma hita laho jongjong di hasintongan, jala dipataru ma hita tu dalan na lurus na manuju tu rahmat ni Allah SWT. Maaf Lahir Batin.

 * Di ari nauli on, sai lam tu lamu ma holongta tu Allah SWT dohot tu sude na tinompaNa, dipargogoi ma hita laho mangaradoti alam dohot mangalehon dame tu humaliangta. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Idul Fitri ma di hita sude, sai dipasada ma hita di bagasan hasadaon ni umat Islam, dipargogoi ma hita laho mangembanghon ajaran agama na sintong dohot na dame. Maaf Lahir Batin.

 * Marhitehite ari na gok halalas ni roha on, sai lam tu togu na ma iman ta, dipargogoi ma hita laho martahan di angka pangunjunan, jala dipasolhot ma hita tu surgo na so hasudahan. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Hari Raya Idul Fitri, sai dipasihar ma angka pambahenan ta siganup ari, asa lam ganda angka halak na mangkaholongi agama Islam marhitehite parangenta na denggan. Maaf Lahir Batin.

 * Di ari na timbul on, sai lam tu bagas na ma parbinotoanta taringot tu agama Islam, dipargogoi ma hita laho mangalului ilmu na bermanfaat dohot mangajarhon tu angka na asing. Maaf Lahir Batin.

 * Selamat Ari Raya Idul Fitri, sai dipargogoi ma hita laho manungguli angka hasalaan ta naung salpu, marsitopot tu Allah SWT, jala mamuhai lembaran na imbaru marhitehite tobat na tulus. Maaf Lahir Batin.

 * Marhitehite ari kemenangan on, sai lam tu hot na ma uhumta tu Allah SWT, dipargogoi ma hita laho mangaradoti angka parentaNa dohot manjauhi angka orariNa, asa boi hita mangolu di bagasan dame dohot hasonangan. Maaf Lahir Batin.

Dibuat oleh AI
·   0

Selasa, 01 April 2025

Jejak Saudagar Arab di Nusantara: Investasi Miliaran Dolar, Masa Depan Cerah Menanti


Jakarta, Indonesia – Jejak saudagar Arab di Nusantara telah terukir sejak era Dinasti Umayyah. Sejak abad ke-7, para pedagang dari Arab Saudi, Yaman, dan wilayah Arab lainnya telah menjalin hubungan dagang yang erat dengan masyarakat Indonesia. Kini, hubungan tersebut bertransformasi menjadi investasi miliaran dolar yang menjanjikan masa depan cerah bagi kedua belah pihak.

Sejarah mencatat, para saudagar Arab tidak hanya membawa rempah-rempah dan komoditas dagang lainnya, tetapi juga menyebarkan agama Islam dan budaya Arab. Mereka berbaur dengan masyarakat lokal, menikah, dan membangun komunitas yang kuat. Jejak mereka masih dapat ditemukan dalam nama-nama kampung, tradisi, dan kuliner di berbagai wilayah Indonesia.

Kini, investasi dari negara-negara Arab di Indonesia semakin beragam. Tidak hanya sektor energi dan pertambangan, tetapi juga telekomunikasi, infrastruktur, dan pariwisata. Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Kuwait, dan Yaman berlomba-lomba menanamkan modal di Indonesia.

Salah satu contohnya adalah persaingan sengit di sektor telekomunikasi. Secara diam-diam, Etisalat dari UEA, STC dari Arab Saudi, dan Qtel dari Qatar telah bertarung memperebutkan pasar Indonesia. Mereka masing-masing mengusung merek XL, Axis, dan Indosat.
Uniknya, negara-negara Arab tersebut menggandeng pihak ketiga. Axis dan XL menggandeng perusahaan asal Malaysia, sementara Indosat menggandeng perusahaan asal Singapura. Langkah ini menunjukkan bahwa pasar telekomunikasi Indonesia sangat kompetitif dan menarik bagi investor asing.

Etisalat, misalnya, mengakuisisi 15,97% saham Excelcomindo (XL) senilai 1,6 miliar dirham UEA. Langkah ini menunjukkan komitmen Etisalat untuk memperluas pangsa pasarnya di Indonesia.

Arab Saudi juga tidak mau kalah. Saudi Telecom Company (STC) mengakuisisi 51% saham Natrindo (Axis), salah satu operator telekomunikasi terbesar di Indonesia. Langkah ini memperkuat posisi STC di pasar telekomunikasi Indonesia.

Qatar Telecom (Qtel) juga meningkatkan kepemilikan sahamnya di Indosat, salah satu operator telekomunikasi tertua di Indonesia. Langkah ini menunjukkan kepercayaan Qtel terhadap potensi pasar telekomunikasi Indonesia.

Selain sektor telekomunikasi, negara-negara Arab juga berinvestasi di sektor energi dan pertambangan. Arab Saudi, misalnya, melalui Saudi Aramco, berinvestasi di proyek kilang minyak di Indonesia. UEA, melalui Mubadala Investment Company, juga berinvestasi di sektor energi terbarukan di Indonesia.

Qatar, melalui Qatar Investment Authority (QIA), berinvestasi di sektor infrastruktur di Indonesia, seperti pembangunan jalan tol dan bandara. Kuwait, melalui Kuwait Investment Authority (KIA), juga berinvestasi di sektor properti dan pariwisata di Indonesia.

Yaman, meskipun tidak sebesar negara-negara Arab lainnya, juga berinvestasi di Indonesia, terutama di sektor perdagangan dan industri kecil.

Prospek investasi negara-negara Arab di Indonesia sangat cerah. Indonesia memiliki pasar yang besar, sumber daya alam yang melimpah, dan stabilitas politik yang terjaga. Selain itu, pemerintah Indonesia juga memberikan insentif yang menarik bagi investor asing.

Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti birokrasi yang rumit, infrastruktur yang belum memadai, dan regulasi yang sering berubah.

Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi dari negara-negara Arab. Investasi ini akan memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian Indonesia, seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan negara, dan transfer teknologi.

Hubungan antara Indonesia dan negara-negara Arab tidak hanya sebatas investasi. Ada juga kerja sama di bidang pendidikan, budaya, dan agama. Kerja sama ini memperkuat hubungan bilateral antara kedua belah pihak.

Di masa depan, hubungan antara Indonesia dan negara-negara Arab diharapkan akan semakin erat. Investasi dari negara-negara Arab akan terus mengalir ke Indonesia, dan kerja sama di berbagai bidang akan semakin ditingkatkan.

Dibuat oleh AI
·   0