Selasa, 24 Juni 2025

Azerbaijan; Karabakh Bangkit di Tengah Berbagai Tantangan

·   0





Setelah puluhan tahun menjadi medan konflik berdarah, pemerintah Azerbaijan kini memulai babak baru dalam sejarah Nagorno-Karabakh dengan ambisi besar: membangun kembali wilayah itu dari puing-puing perang dan mengembalikannya sebagai tanah kehidupan yang layak bagi semua warga yang pernah terusir. Dalam kurun 2021 hingga 2023, Azerbaijan telah menggelontorkan dana sebesar 12 miliar manat atau sekitar USD 7,1 miliar, ditambah 4,8 miliar manat pada 2024 dan rencana 4 miliar manat untuk 2025. Total anggaran fantastis ini difokuskan pada pembangunan infrastruktur dasar seperti transportasi, energi, komunikasi, pendidikan, dan kesehatan.

Pembangunan kembali ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga sangat simbolis. Bagi pemerintah Azerbaijan, proyek ini merupakan momen pembuktian bahwa Karabakh adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan mereka. Di atas kertas, rencana yang disusun begitu detail, termasuk pengembangan "master plans" untuk kota-kota penting seperti Khankendi, Khojaly, Khojavend, dan Agdere. Sebuah pabrik tekstil yang baru dibuka di Khankendi kini mempekerjakan 400 orang, dan dalam waktu dekat jumlah itu ditargetkan mencapai 800.

Namun, di balik gegap gempita angka dan pembangunan fisik, muncul pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam: bagaimana integrasi sosial dari para pengungsi internal bisa dijamin secara nyata? Apakah cukup lapangan kerja, layanan publik, dan infrastruktur sosial tersedia bagi mereka yang pulang? Tidak kalah penting, bagaimana soal keadilan, kompensasi, dan trauma yang masih membekas?

Pemerintah Azerbaijan menargetkan sekitar 40.000 orang dapat kembali ke Karabakh pada tahun 2026. Namun, sejumlah pengamat menyebut angka itu masih spekulatif. Bukan karena tidak mungkin secara fisik, tetapi karena proses pemulangan bukan semata soal membangun rumah, melainkan juga membangun kembali rasa aman, kepercayaan, dan identitas. Banyak warga, baik etnis Azeri, Armenia, maupun Kurdi, telah hidup di tempat lain selama puluhan tahun dan tidak semua dari mereka merasa siap atau diterima untuk kembali.

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana rekonsiliasi etnis akan berlangsung. Dalam wilayah yang pernah dihuni oleh komunitas Armenia dan Kurdi secara signifikan setelah pengusiran orang Azeri oleh orang Armenia, tidak semua pihak merasa rekonstruksi ini inklusif.

Di sisi lain, komunitas Kurdi yang pernah memiliki jejak panjang di wilayah ini juga masih dalam posisi serba menggantung, warga Kurdi juga menjadi korban kekerjaman Armenia di masa lalu.

Mereka belum memiliki jaminan keterlibatan dalam proses politik maupun alokasi sumber daya pembangunan. Tidak sedikit Kurdi yang menyambut baik pembangunan kembali, tetapi menuntut adanya pengakuan atas sejarah dan kontribusi mereka di wilayah tersebut.

Pembangunan infrastruktur memang terlihat progresif. Jalan-jalan baru mulai membentang, universitas dirintis, pusat layanan kesehatan mulai beroperasi, dan jaringan listrik serta air diperluas. Tapi pembangunan sosial memerlukan pendekatan yang lebih mendalam dan sensitif terhadap sejarah konflik. Trauma masa lalu tidak bisa dihapus dengan beton dan kabel saja.

Banyak warga yang kembali masih dihantui kenangan pahit pengusiran dan kekerasan. Sejumlah keluarga Azeri yang kini kembali ke rumah mereka di Fuzuli atau Shusha mendapati bahwa rumah tersebut telah hancur atau diubah selama pendudukan. Banyak masjid telah diubah menjadi kandang babi oleh pendatang Armenia. Mereka pun harus memulai dari nol. Bahkan, sebagian mengaku merasa asing di tanah yang dulu mereka tinggalkan.

Proses pembangunan Karabakh juga diwarnai ketegangan geopolitik yang belum sepenuhnya padam. Meski operasi militer Azerbaijan telah berhasil menguasai kembali wilayah tersebut, sentimen anti-Armenia masih mengemuka dalam wacana publik, khususnya pada isu persekusi mereka kepada warga non-Kristen di masa lalu. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi rencana jangka panjang untuk menjadikan Karabakh wilayah multietnis yang stabil.

Sementara itu, kalangan internasional menyambut baik pembangunan kembali ini, meski tetap mengawasi prosesnya dengan hati-hati. Uni Eropa dan sejumlah badan PBB telah menyatakan dukungan untuk pemulihan Karabakh, namun mendorong agar proses tersebut dilakukan dengan menjunjung hak asasi manusia dan prinsip non-diskriminasi.

Proyek pembangunan Karabakh juga mengundang perhatian diaspora. Banyak warga Azerbaijan di luar negeri menyumbang atau menyatakan niat untuk kembali. Namun realitas di lapangan belum tentu seindah harapan. Kurangnya fasilitas dasar, tantangan logistik, serta risiko keamanan membuat sebagian dari mereka menunda rencana tersebut.

Pemulangan pengungsi bukan hanya soal membuka jalan kembali ke rumah, tetapi juga membangun jembatan ke masa depan. Pemerintah Azerbaijan menyadari bahwa tanpa kepercayaan publik, dana triliunan sekalipun tidak akan cukup. Oleh karena itu, program-program pemberdayaan sosial dan psikososial mulai digulirkan, meski skalanya masih terbatas.

Sebagian kelompok sipil mendesak agar pemerintah juga membuka ruang dialog dengan kelompok Armenia dan Kurdi, agar proses rekonstruksi tidak hanya menjadi milik satu etnis atau satu narasi sejarah. Tanpa inklusivitas, Karabakh bisa kembali menjadi bom waktu.

Kini, Karabakh memang sedang dibangun kembali secara fisik. Tapi pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung: apakah kembalinya para pengungsi ini hanyalah pemulihan fisik, atau langkah menuju kehidupan yang bermartabat? Masa depan Karabakh akan ditentukan bukan hanya oleh beton dan baja, tapi oleh kemampuan masyarakatnya untuk berdamai dengan masa lalu dan membangun harapan bersama.


Subscribe to this Blog via Email :